[caption id="attachment_407798" align="aligncenter" width="302" caption="Ilustrasi/Lifestyle.Kompasiana.com"][/caption]
Selamat Pagi, Minggu. Apa kabarmu ?.
Kau pernah mendengar cerita tentang handuk ?. Iya, handuk, alat yang kau gunakan untuk membasuh keringat atau air sisa mandi di tubuhmu. Tahukan ?.
Handuk bukanlah sekedar kain yang kau gunakan untuk membasuh air dari tubuhmu. Ia adalah benda yang memiliki sejarah atau bisa saja benda yang ikut membentuk sejarah. Ada cuplikan pendek sejarah handuk yang bertutur seperti ini :
Tahun 1841, orang Prancis mulai membuat handuk dengan mesin dari kain sutra. Tahun 1851, Samuel Holt untuk pertama kalinya membuat handuk dari Cotton dan dipamerkan di Crystal Palace, London. Ketika berkunjung ke pameran ini, Ratu Victoria sangat terkesan (takjub) dan beliau menganugrahkan medali emas bagi Samuel Holt dan bahkan memesan 6 lusin handuk untuk istana. [ linknya .]
Versi lain tentang sejarah handuk berkisah seperti ini :
Versi lain dari sejarah handuk adalah berasal dari negara Turki sekitar abad ke-18 dan sampai saat ini dikenal dengan “Handuk Turki”. Sejak Awal Handuk Turki ini berukuran sekitar 90cm x 110 cm terbuat dari cotton dan Linen yang buat layaknya handuk modern yaitu terdiri dari loop-loop atau lengkungan lusi, saat itu handuk digunakan pada acara sebelum dan sesudah pesta pernikahan dan acara-acara penting lainnya serta menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial masyarakat Turki . Dalam setiap set handuk Turki terdiri dari handuk yang berbeda kegunaanya yaitu untuk untuk bahu , pinggul dan kepala, hal ini menunjukkan adanya ritual mandi ala Turki yang istimewa. [link-nya . ]
Jika benar sejarahnya seperti itu, maka handuk tidak dilahirkan dari kesia-siaan. Ia lahir dari satu susunan masyarakat yang mulai memasuki kemodernan. Lebih spesifik lagi, handuk mewakili cita rasa kemewahan kelas sosial. Termasuk juga ia hadir dalam ritual-ritual sosi-religio tertentu. Maka, dari keterangan itu, bisalah dikatakan untuk sementara disini jika handuk tidak selalu berurusan dengan mengeringkan air di badan kita.
Norbert Ellias, seorang sosiolog beraliran sosiologi makro, pernah bilang peradaban berkaitan dengan kehalusan psikologi manusia. Misalnya, dalam sistem hukuman, zaman biadab orang dihukum dengan dibakar, di zaman modern, orang dihukum dengan di penjara. Penemuan handuk mungkin seperti itu, ia hadir dalam transformasi psikis-kebiasaan, dari tidak pernah mandi menjadi mandi sebagai kebutuhan harian.
Saya juga memiliki kisah tentang handuk. Handuk yang menjaga tubuh di setiap pergumulan hari. Handuk yang menemani saya ikut menyaksi kesederhanaan hidup, ketimpangan pembangunan, keterbatasan fasilitas, juga, keheningan khas pinggiran yang seringkali susah diungkapkan dengan kata-kata.
Handuk itu, kecil saja bentuknya, bukan dari sutera. Ia hanyalah bonus dari produk Shampoo. Ia juga tidak bisa digunakan untuk menutup seluruh tubuh, hanya untuk menyerap air. Justru karena kecil itu, ia memiliki kemampuan mengikuti kemana saja.
Ia tidak membutuhkan tempat yang luas untuk menyimpannya. Juga tidak melelahkan ketika dicuci. Sama halnya, tidak membutuhkan panas matahari yang lama untuk dikeringkan.
Ia adalah saksi yang paling tahu bentuk tubuh pemiliknya. Ia juga paling tahu di bagian tubuh sebelah mana yang tak terjangkau oleh bilasan air. Ia juga paling tahu jejak air yang tidak benar-benar kering.
Dan, ia paling tahu, senandung apa yang mengiringi gemuruh air yang jatuh.
[caption id="" align="aligncenter" width="467" caption="Handuk/ dok.pri"]
Handuk, hal kecil yang mungkin tidak penting bagi mereka yang jarang bepergian atau terlalu banyak menghabiskan waktu di satu tempat yang sama sepanjang tahun-tahun yang rutin. Tapi tidak bagi mereka yang bukan saja tidak memiliki rumah, tapi juga kesulitan merujukkan asal-usul masa lalu : dari lokasi kultural mana saya sesungguhnya ?.
Lalu, dalam kondisi bepergian yang terus menerus, benda-benda kecil serupa handuk akan dijadikan prasasti dari riwayat bepergian itu. Ia memang tidak merekam kata-kata yang bertera tandatangan, tidak juga mengabadikan penanggalan tertentu. Handuk yang ikut bepergian adalah teks yang hanya bicara dengan pemilikinya melalui bahasa yang mereka berdua fahami. Tak jarang, bahasa itu tak beraksara, ia hanya sunyi, hanya sepi.
Saya mengalami sejarah handuk yang seperti itu. Kain kecil yang menjadi saksi dari banyak perjumpaan dalam bepergian. Ia adalah jejak penting dari mulainya pagi dan pulangnya matahari. Tapi ia tidak memiliki aksara, bahasanya adalah kesunyian yang bersuara ketika air berhenti mengalir.
Terkadang saya ingin bertanya padanya, "kamu capek Duk?"
Tapi saya pikir itu sia-sia. Handuk, sebagai benda seperti manusia, selalu fana di bawah takdir waktu. Tapi kenangan atasnya, sejarah yang ikut ditulisnya, tidak pernah terhapus gelombang waktu.
Jadi, sudahkah kita peduli pada benda-benda kecil yang setia menjaga fungsinya menemani hari-hari ?. Atau, jangan-jangan kita terlalu banyak menumpuk benda-benda sehingga kita tak tahu lagi beda nilai guna dan nilai citra.
Demikian dulu, saya hendak mandi. Handuk kecil itu sudah memanggil.
Selamat pagi, Minggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H