[caption id="attachment_400963" align="aligncenter" width="680" caption="Sumber: Kompas.com"][/caption]
Tahun 2012.
Suatu Jumat di Manado, hampir seminggu sesudah Idul Fitri. Tulisan ini kisah tentang sebuah khutbah yang telah mencoba untuk masuk dalam permasalahan yang tidak sederhana dengan caranya yang mungkin membuat bosan. Tulisan ini juga mungkin tentang diskusi tentang moralitas yang tidak formal, lebih pada ranah kultural.
Sang Khatib memulai dengan merumuskan masalah keumatan hari ini dengan adanya bahaya besar dalam wujud gelombang yang berpotensi menghancurkan tatanan moral, yang menjauhkan umat dari ajaran agama (baca : Quran dan Sunnah Rasul).
Bahaya ini, demikian lanjut sang Khatib, terpancar dari realitas tontotan dengan penggerak utamanya adalah televisi. Televisi tidak lagi menjadi penyampai pesan yang mengajarkan teladan dan nilai-nilai yang baik bagi masyarakat penonton. Ia justru menjadi negavitas yang tak lagi mengabaikan batas moralitas,eh, malah aktif mendestruksinya. Sang Khatib menyebut sinetron sebagai salah satu contoh termaju untuk kasus ini.
Dalam daya sihir sinetron, jika kita bisa menyebutnya demikian, posisi dan penghargaan terhadap para ulama (mereka yang menjadi teladan moral) tengah turun kelas, kaum ulama tak lagi dihormati sepantasnya. Perilaku yang dahulu ditabukan, kini diperlakukan sebagai keumuman yang wajar, bahkan juga seharusnya sebagaimana berpacaran gaya SMA ala sinetron televisi. Televisi juga menayangkan jenis sinetron yang secara vulgar menampilkan kekerasan dan pembalasan dendam. Anak-anak, remaja, dan tak terkecuali kaum ibu, termakan oleh jejaring provokasi industri tontonan. Mereka lebih hafal nama-nama artis dan jam tayang sinetron ketimbang nama Guru Ngaji dan jadwal sholat lima waktu.
Sang Khatib mengkritik ini dengan menyebutnya sebagai gelombang besar penghancuran tata moral masyarakat ditandai dengan kecenderungan pada penyimpangan perilaku secara massal yang dilakukan terbuka, dan, akibatnya terjadi penjauhan umat dari tuntutan dan tuntutan kitab sucinya. Ini bahaya besar bagi agamawan dan umatnya (Islam). Inilah wujud dari jahiliyah modern itu.
Demikian intisari khotbah sang Khatib.
Masjid : Makna dan Arena
Secara religio-kultural, kita dapat memposisikan masjid sebagai ‘rumah makna’. Jika kita setuju bahwa agama memiliki fungsi sebagai tudung suci (sacred canopy, teori dari sosiolog Peter Berger), maka mesjid mewakili wujud fisik dari kehadiran tudung suci ini. Secara structural-fungsional, mesjid merupakan bagian dari gugus institusi agama, arena dimana nilai, norma, pengetahuan, laku harian dipraktikkan terus menerus. Dalam posisinya yang seperti ini maka mesjid juga merupakan unit dari penegasa identitas keagamaan, perawatan solidaritas (ukhuwah) dan kritik terhadap sesuatu yang dinilai ‘bermasalah’ di masyarakat luas.
Dalam riwayat tentang hubungan masjid, masyarakat dan peradaban Islam, Quraish Shihab mengatakan sekurangnya terdapat sepuluh fungsi dari mesjid, yakni sebagai (1), tempat ibadah, (2), tempat pendidikan, (3), santunan social, (4), menawan tahanan, (5), pengobatan para korban perang, (6), aula dan tempat menerima tamu, (7), perdamaian dan pengadilan sengketa, (8), pusat penerangan dan pembelaan Islam, (9), latihan militer dan persiapan peralatannya, dan (10), komunikasi dan konsultasi ekonomi, sosial dan budaya. (Majalah Risalah Nahdlatul Ulama, No 33/Tahun IVI/1433 H/2012).