Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Musik Rinto Harahap dan Kesaksian Sebuah Jejak

10 Februari 2015   18:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:29 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14235547831910906104

[caption id="attachment_396023" align="aligncenter" width="624" caption="Rinto Harahap (Kompas)"][/caption]

'Lagu saya sedih, bukan cengeng' - Rinto Harahap

Rinto Harahap dikabarkan telah wafat senin malam (9/02/2015) pada usia 65 tahun. Industri musik dan musisi mungkin merasakan wafatnya Rinto Harahap sebagai sebuah kehilangan. Namun bagi saya, wafatnya Rinto Harahap adalah berhentinya sebuah jejak dan kesaksian. Sekurang-kurangnya jejak bagi riwayat biografis saya sendiri, yang pernah menjadikan beberapa lagu Rinto Harahap sebagai bagian dari 'mengalami kemudaan'.

Saya memulai jejak biografis dari Tanah Papua, dari Serui lalu ke Jayapura. Ada yang selalu 'konstan' dalam masa-masa awal ini, yakni  kumpul, bernyanyi, dan bertukar cerita lucu (MOP). Dalam track tradisi kumpul, bernyanyi dan bertukar cerita inilah, Rinto Harahap menancapkan 'pengaruhnya' di memori saya. Tentu saja di zaman ini, saya juga mengunyah musik Iwan Fals dan Kantata Takwa, termasuk juga musik Fire House, White Lion, Gun's n Rose's, dan MLTR. Juga lagu band-band lokal  yang menjadi 'musik wajib', seperti Black Sweet dan Black Brothers.

Sungguh selera yang bercampur sari, tak memiliki batas yang tegas. Mirip-mirip Gus Dur rasanya yang menikmati musik klasik hingga dangdut (penyamaan yang memaksakan diri, hahaha !!), saya memang tidak memiliki ideologi dalam urusan musik. Belakangan, saya berusaha masuk ke teks-teks musik Metallica atau System Of A Down, tapi tetap saja tidak ada yang awet seawet Rinto Harahap. Justru saya sangat bersyukur karena tak memiliki poros ideologi musik yang jelas, karena dengan selera musik yang campur sari tidak jelas inilah, saya tidak terlalu kesulitan berpindah lokasi-lokasi kultural.

Menafsir Teks Benci Tapi Rindu : Pesan tentang Ambivalensi

Saya memiliki asumsi setiap lagu, baik lagu populer, lagu rakyat hingga lagu pergerakan, juga adalah sebuah teks psiko-kultural. Sebagai teks psiko-kultural, sebuah lagu adalah kesaksian sekaligus penyaluran dari suasana batin dan suasana zaman ketika itu. Singkat kata, sebagai kesaksian sekaligus penyaluran, setiap lagu bisa menjadi bagian yang berkontribusi bagi pembentukan 'identitas' generasi.

Saya memang belum menyelami dengan dalam hubungan dialektis antara musik dan pembentukan identitas. Hanya pernah membaca beberapa analisis yang berusaha menunjukkan musik sebagai bagian dari identitas perlawanan dan demarkasi kelas (seperti musik punk atau reggae). Juga kajian cultural study yang coba melihat bagaimana musik dangdut yang berdiri di pinggiran telah bermutasi menjadi salah satu instrumen penting budaya pop yang ditunggangi oleh 'kehendak berkuasa'.

Lagu-lagu Rinto Harahap ngetop di tahun 70-an (kebaca tua banget ya ? Saya sendiri baru mengaulinya di tahun 90-an). Di tahun-tahun itu, kehidupan generasi mudah seperti apa ? Entahlah, saya belum mendalami konteks kultural yang membingkai suasana batin dan konstruksi identitas kala itu.

Yang mau saya katakan adalah, dalam konteks merekam suasana batin itu, ada satu lagu dari Rinto Harahap yang jika didengarkan lagi, mungkin bisa memberi kita tilikan untuk melihat konstruksi ruang batin dunia percintaan kala itu.

Lagu itu berjudul Benci Tapi Rindu. Liriknya yang terkenal :
Bukan hanya sekedar penghibur
Diriku ini sayang
Bukan pula sekedar pelepas
Rindumu oh sayang
Sakit hatiku..
Kau buat begitu

Kau datang dan pergi
Sesuka hatimu
Ooo.. kejamnya dikau
Teganya dikau padaku
Kau pergi dan datang
Sesuka hatimu
Ooo.. sakitnya hati
Bencinya hati padamu

Sakitnya hati ini
Namun aku rindu
Bencinya hati ini

Tapi aku rindu

Dalam pemaknaan saya, lagu ini menerangkan hadirnya ambilavensi akut dalam hubungan kasih sayang diadik (dua orang). Ambivalensi yang akan selalu menghadirkan konflik dalam diri dan bukan tidak mungkin melahirkan tindakan-tindakan yang destruktif sebagai saluran pelampiasannya. Ada banyak kasus, oleh ambivalensi yang akut, pertimbangan rasional dan moral bisa tidak berpengaruh.

Menurut saya, Rinto Harahap adalah salah satu yang sudah merekam ruang batin ambivalensi  di era dimana sikap-sikap narsistik belum menemukan medium ekspresinya, entah lewat smartphone atau sosial media. Sebuah era yang juga negara masih bertawatak 'mewakili sebagai kebenaran moral nan tunggal' dan bertindak sebagai 'bapak yang sensorik'; era dimana ekspresi-ekspresi narsistik masih sepi dari ruang virtual.

Hari ini, di zaman ini, tidakkah kita banyak membaca berita tentang muda-mudi yang nekad melakukan aksi-aksi sadis karena patah hati dan bisa jadi karena tekanan ambivalensi yang meruntuhkan semua preferensi moral ?.

Saya tidak lantas menyimpulkan bahwa tekanan ambivalensi di era generasi digital dimana ekspresi narsistik sudah mencapai level kelewat takaran, ambivalensi lebih mudah menyeruak menjadi sadisme. Maksud saya, di era dimana negara sensorik itu tidak lagi relevan, generasi hari ini ditantang untuk mengembangkan kecerdasan kultural untuk mengelola energi negatif produksi ambivalensi itu ke saluran-saluran produktif.

Demikian juga dengan karya-karya musik dari aliran 'pop sedih'. Seharusnya juga meniti jejak yang sudah dirintis oleh Rinto Harahap dalam mengungkap ruang batin ke dalam teks lagu. Lagu sedih bukan berarti lagu yang tidak bisa memuat pesan-pesan 'kritis' dan tak semata berkubang dalam 'airmata dan kegalauan', sebagaimana yang dilakukan oleh Rinto Harahap dalam lagu di atas.

Bukan tidak mungkin karena kemampuan mengungkap itulah, lagu-lagunya kini hendak ditafsir ulang oleh Tohpati dalam aransemen rock, reggae, dan lainnya. Dengan kata lain, lagu-lagunya legendaris.

Selamat jalan Om Rinto. Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun