“Jika sama harga nya dengan memanen padi, aku tidak mau”
“Pasti lebih besar, de Timah. Sembari mencari pengalaman. Di luar kota sangat banyak yang aneh –aneh. Disana tidak ada sawah seperti kita. Kalau pun ada hanya sedikit di perkampungan. Setelah Timah kembali, Timah bisa menikah denganku dan mengajarkan anak –anak kita dengan baik. Penuh kasih dan sayang. Menceritakan bahwa Ibunya pernah pergi ke kota nan jauh disana. Kalau begitu ia pun akan seperti Ibunya, tangguh dan kuat jika di terjang badai”
“Timah terharu toh Mas”
Aku dan Mas Danang duduk berdua berdampingan di tanggul. Mas Danang mengelap pipi ku yang kuyub. Ia memandangku dengan penuh harapan, seakan ia mengijinkan aku untuk merantau ke kota. Hatiku sebenarnya sangat tidak tenang sekali.
“Tapi hatiku ndak tenang toh Mas”
“Itu hanya perasaanmu saja”
“Iyah mungkin Mas?”
“Kamu harus optimis. Bilang ke Bapak dan Ibu mu nanti”
“Nje Mas. Ya sudah setelah Mas makan, aku segera pulang lalu bilang ke Ibu dan Bapak. Semoga Bapak mengetahuinya. Tapi apakah mereka sudah mengetahuinya?”
“Aku kira mereka sudah mengetahuinya. Bapakmu saudara dari kepala desa saat ini, jadi tidak mungkin ia tidak mengetahuinya. Para tetanggamu juga sudah pada tahu dan anak –anak mereka juga sudah mengiyakan. Si Dewi temanku saja, kakak kelas SD –mu dulu, ia mau ikut bergabung, agar hidupnya tidak di kampung mengurusi warung orangtuanya saja”
Aku cemburu mendengar kata Mbak Dewi dan menyangkut beliau. Ia teman SD –nya Mas Danang. Bukannya begitu, ia pernah mendekati Mas Danang, hampir saja menjadi pacar. Aku tidak suka tatkala di obrolan aku dan Mas Danang terselip dan menyangkut Mbak Dewi. Aku cemburu toh Mas, aku akui saja.