Dalam beberapa tahun terakhir terutama sejak banyaknya isu politik masuk ke ruang-ruang diskusi terutama melalui Whatsapp dan Facebook, seringkali kita harus berseberangan faham terkait pilihan politik dengan saudara atau teman sendiri.
Dalam sebuah Whatsapp group keluarga, misalnya, saya keluar dari grup karena saya menganggap diskusi sudah tidak sehat dan mayoritas dari keluarga adalah pendukung salah satu pasangan calon dan saya tidak ingin kekeluargaan menjadi tercederai hanya karena perbedaan pandangan politik.
Saat itu sedang gencar-gencarnya isu Ahok dan pencalonannya kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta untuk ke-dua kalinya. Â
Terkait aktifnya masyarakat dalam menyuarakan pilihan politik, di satu sisi ini merupakan hal positif karena artinya masyarakat kita tidak apatis. Di satu sisi, partisipasi aktif ini bisa dimaknai sebagai kesadaran masyarakat dalam melihat pentingnya demokrasi dan perubahan kepemimpinan di tingkat manapun sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat.
Namun demikian, di sisi lain, alam demokrasi bisa juga menjadi sarana untuk semua golongan, semua kelompok untuk mendapatkan apa yang mereka mau dengan mendompleng pada kehidupan demokrasi.
Ini disebut sebagai kelemahan demokrasi, dimana siapapun yang terpilih sesuai mekanisme yang sudah disepakati, dia harus diterima untuk menjadi pemimpin. Kalau tidak, kekacauan dan pertentangan akan terus terjadi.
Contoh yang paling mutakhir adalah terpilihnya beberapa pemimpin dunia di alam demokrasi saat ini. Termasuk terpilihnya Donald Trump di Amerika. Trump dianggap sebagai tokoh yang tidak pro-demokrasi oleh para penentangnya, tapi dia terpilih oleh sistem demokrasi yang mereka anut.
Meski kemarahan atas terpilihnya Trump terutama dari pendukung Kubu Partai Demokrat masih ada, tapi itu adalah hasil proses demokrasi. Saat ini, sudah ada beberapa usulan untuk mengubah sistem demokrasi yang mereka anut sehingga yang secara populer terpilih (suara terbanyak) seharusnya menjadi Presiden, bukan seperti saat ini dimana Presiden terpilih ditentukan oleh Dewan Pemilih (Electoral College). Â
Kembali kepada isu beragama di era di digital atau tepatnya di media sosial dan terutama di tahun-tahun politik, bagaimana kita harus menyikapi berbagai isu politik yang seringkali dicampuradukan dengan isu agama. Salah satu tulisan yang diviralkan misalnya menyebut mereka yang mencoba memisahkan agama dari politik atau jangan bawa-bawa politik dalam diskusi grup, silaturahim, dan lain-lain harus dilawan karena itu akan membuat masyarakat buta politik.
Menurut penulis yang tidak menyebut identitasnya tersebut, menganggap pandangan agar jangan membawa politik dalam grup-grup WA silaturahim adalah bertentangan dengan pandangan bahwa Islam itu agama yang menyeluruh, termasuk dalam urusan politik.
Di satu sisi, pendapat tersebut benar, namun di sisi lain, dia lupa bahwa dalam Islam, kemaslahatan harus dijaga daripada kemudharatan. Saat ini, urusan meributkan politik sudah banyak terbukti membawa banyak keburukan, caci maki, perselisihan, percekcokan, bahkan sampai pada kehilangan nyawa karena perbedaan pandangan politik.
Imbauan agar tidak membawa politik dalam diskusi atau grup chat keluarga adalah dalam rangka menghindari kemafsadatan (kerusakan), untuk menjaga keseimbangan, menjaga silaturahim, dan untuk tidak mengorbankan persaudaraan sebagai sesama anak bangsa, apalagi sesama saudara, tetangga, dan teman.
Di berbagai masyarakat ada di kenal beberapa tabu (hal-hal yang tidak boleh dilakukan). Di Amerika, misalnya, ada tabu yang tidak boleh dilakukan oleh orang pada saat mereka sedang makan malam. Mengapa makan malam? Karena saat makan malam adalah saat di mana orang menjalin hubungan baik, silaturahim, kekeluargaan, senda gurau dan canda tawa.
Salah satu tabu yang tidak boleh dibahas adalah persoalan politik dan agama. Mengapa politik dan agama? Dua hal tersebut adalah isu sensitif yang jika dibahas pada saat makan malam bisa mengeruhkan suasana dan keakraban, membuat orang akan bersitegang dan berkonflik. Mereka bisa jadi datang dari latar belakang politik dan pemahaman keagamaan yang berbeda.
Sudah rahasia umum, masyarakat Amerika seperti halnya di Indonesia seringkali terbelah jika sudah membicarakan politik dan isu-isu agama seperti aborsi. Ini salah satu analog bahwa memang adakalanya kita harus memisahkan mana yang perlu untuk dibahas dalam grup chat, mana yang tidak. Di salah satu whatssapp yang penulis ikuti misalnya, seperti ada kesepakatan tidak tertulis kalau misalnya kita tidak akan membahas isu politik dan agama dalam grup tersebut untuk menjaga silaturahim dan persatuan.Â
Jadi bagaimana beragama di era saat ini? Bagaimana kita bisa tetap berimbang dalam bersikap, tidak terlalu memihak kepada salah satu kelompok dan tidak ikutserta dalam kebatilan salah satunya misalnya dengan menyebarkan hoax dan informasi yang salah atau belum jelas kebenarannya.Â
Pertama, sebagai seorang Muslim, Islam mengajarkan kita untuk membaca, menelaah apa yang kita baca atau perlu kritis terhadap semua informasi yang kita terima. Dalam salah satu ayat Al-Quran disebutkan,
"Jika datang kepadamu seorang yang fasik membawa berita, maka telitilah agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS Al-Hujurat: 6)
Meskipun sebab turun ayat tersebut berkenaan dengan kejadian khusus dalam hal utusan Nabi Muhammad SAW yang menyampaiakn berita yang tidak benar terkait Al-Harits bin Dhirar al-Khuza'i, pemimpin Bani Musthaliq untuk melakukan pengumpulan zakat, namun dalam Ilmu Tafsir, ayat ini bisa difahami dari keumuman lafadnya.
Artinya, secara umum, ayat ini bisa digunakan dalam semua keadaan jika kita menerima suatu berita agar berhati-hati dan meneliti terlebih dahulu informasi tersebut sebelum menyebarkannya kepada orang lain. Dengan kata lain, kita perlu tabayyun (mencari tahu kebenaran informasi tersebut) baik dengan langsung bertanya kepada ahlinya, atau dengan misalnya mencoba meng-google sendiri berita tersebut. Apakah berita atau informasi tersebut masuk kategori hoax atau tidak. Tidak ada salahnya untuk berhati-hati agar tidak membawa kesulitan dan keburukan.Â
Kedua, sebagai seorang Muslim, beragama perlu mengedepankan akhlakul karimah. Dalam salah satu hadis Nabi SAW, Iman dan Islam disandingkan dengan kata Ihsan. Iman adalah fondasi, Islam adalah tuntunan, dan Ihsan salah satunya adalah mencakup perbuatan baik, tatakrama, sopan santun, bagaimana kita merefleksikan keIslaman dan KeImanan kita dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, mereka yang mengaku beriman, dan Muslim, sudah sepatutnya juga menjadi seorang yang Muhsin (berbuat baik).
Berbuat baik kepada siapapun, kepada teman bahkan kepada lawan. Bahkan terhadap lawan pun, kita tetap harus bersikap adil. Itulah pesan Al-Quran, bahwa keimananan seseorang dilihat dari bagaimana dia bersikap kepada orang lain, kepada tetangga, kepada orang tua, kepada orang miskin dan orang yang lemah. Demikian indahnya Islam.Â
Karena itu, jika kita merasa sangat taat beragama, rajin sholat, tapi masih mencela orang lain dan memusuhi orang lain, mungkin kita perlu mempertanyakan sholat kita, apakah kita sudah benar-benar menegakkan sholat? Atau kita hanya melakukan sholat, tapi tidak menegakkan sholat. Karena arti sebenar-benar sholat adalah ketaatan penuh kepada Allah yang kemudian dimanifestasikan dalam perbuatan.Â
Demikian, semoga di era media sosial dan terutama di tahun politik ini, kita bisa lebih bijaksana dalam menyikapi perbedaan dengan orang lain dan mengedepankan silaturahim, persatuan, dan persaudaraan sebagai sesama anak bangsa. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H