Imbauan agar tidak membawa politik dalam diskusi atau grup chat keluarga adalah dalam rangka menghindari kemafsadatan (kerusakan), untuk menjaga keseimbangan, menjaga silaturahim, dan untuk tidak mengorbankan persaudaraan sebagai sesama anak bangsa, apalagi sesama saudara, tetangga, dan teman.
Di berbagai masyarakat ada di kenal beberapa tabu (hal-hal yang tidak boleh dilakukan). Di Amerika, misalnya, ada tabu yang tidak boleh dilakukan oleh orang pada saat mereka sedang makan malam. Mengapa makan malam? Karena saat makan malam adalah saat di mana orang menjalin hubungan baik, silaturahim, kekeluargaan, senda gurau dan canda tawa.
Salah satu tabu yang tidak boleh dibahas adalah persoalan politik dan agama. Mengapa politik dan agama? Dua hal tersebut adalah isu sensitif yang jika dibahas pada saat makan malam bisa mengeruhkan suasana dan keakraban, membuat orang akan bersitegang dan berkonflik. Mereka bisa jadi datang dari latar belakang politik dan pemahaman keagamaan yang berbeda.
Sudah rahasia umum, masyarakat Amerika seperti halnya di Indonesia seringkali terbelah jika sudah membicarakan politik dan isu-isu agama seperti aborsi. Ini salah satu analog bahwa memang adakalanya kita harus memisahkan mana yang perlu untuk dibahas dalam grup chat, mana yang tidak. Di salah satu whatssapp yang penulis ikuti misalnya, seperti ada kesepakatan tidak tertulis kalau misalnya kita tidak akan membahas isu politik dan agama dalam grup tersebut untuk menjaga silaturahim dan persatuan.Â
Jadi bagaimana beragama di era saat ini? Bagaimana kita bisa tetap berimbang dalam bersikap, tidak terlalu memihak kepada salah satu kelompok dan tidak ikutserta dalam kebatilan salah satunya misalnya dengan menyebarkan hoax dan informasi yang salah atau belum jelas kebenarannya.Â
Pertama, sebagai seorang Muslim, Islam mengajarkan kita untuk membaca, menelaah apa yang kita baca atau perlu kritis terhadap semua informasi yang kita terima. Dalam salah satu ayat Al-Quran disebutkan,
"Jika datang kepadamu seorang yang fasik membawa berita, maka telitilah agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS Al-Hujurat: 6)
Meskipun sebab turun ayat tersebut berkenaan dengan kejadian khusus dalam hal utusan Nabi Muhammad SAW yang menyampaiakn berita yang tidak benar terkait Al-Harits bin Dhirar al-Khuza'i, pemimpin Bani Musthaliq untuk melakukan pengumpulan zakat, namun dalam Ilmu Tafsir, ayat ini bisa difahami dari keumuman lafadnya.
Artinya, secara umum, ayat ini bisa digunakan dalam semua keadaan jika kita menerima suatu berita agar berhati-hati dan meneliti terlebih dahulu informasi tersebut sebelum menyebarkannya kepada orang lain. Dengan kata lain, kita perlu tabayyun (mencari tahu kebenaran informasi tersebut) baik dengan langsung bertanya kepada ahlinya, atau dengan misalnya mencoba meng-google sendiri berita tersebut. Apakah berita atau informasi tersebut masuk kategori hoax atau tidak. Tidak ada salahnya untuk berhati-hati agar tidak membawa kesulitan dan keburukan.Â
Kedua, sebagai seorang Muslim, beragama perlu mengedepankan akhlakul karimah. Dalam salah satu hadis Nabi SAW, Iman dan Islam disandingkan dengan kata Ihsan. Iman adalah fondasi, Islam adalah tuntunan, dan Ihsan salah satunya adalah mencakup perbuatan baik, tatakrama, sopan santun, bagaimana kita merefleksikan keIslaman dan KeImanan kita dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, mereka yang mengaku beriman, dan Muslim, sudah sepatutnya juga menjadi seorang yang Muhsin (berbuat baik).
Berbuat baik kepada siapapun, kepada teman bahkan kepada lawan. Bahkan terhadap lawan pun, kita tetap harus bersikap adil. Itulah pesan Al-Quran, bahwa keimananan seseorang dilihat dari bagaimana dia bersikap kepada orang lain, kepada tetangga, kepada orang tua, kepada orang miskin dan orang yang lemah. Demikian indahnya Islam.Â