Sering berpergian ke berbagai daerah di Indonesia, mengajarkan saya bahwa, dimanapun anda berada tak perlu takut untuk mencari tempat menginap. Tak perlu cari hotel, tak memintapun bila kita kemalaman mereka pasti menawarkan, bahkan bila rumah mereka sempit demi tamu mereka rela ngungsi kerumah saudaranya. Sayapun tadinya berpikir untuk menginap di hotel disekitar danau Maninjau namun tawaran Anto untuk menginap di rumah saudaranya tak bisa ditolak.Nanti malam kami akan kembali ke parak /ladang durian, efesiensi waktu dan budget sayapun mengiyakan. Namun satu yang lewat dari perkiraan saya, pagi menjelang subuh udara di Maninjau drop entah berapa derajat. Pastinya Laiknya anak yang besar di pesisir pantai, udara seperti ini membuat saya cukup kerepotan. Hawa dingin menggrogoti kaki dan punggung saya dan terus menjalar hingga perut. Akibatnya metabolisme usus error, dalam semalam bisa 3 kali saya keluar masuk kamar mandi.
Jam menunjukan pukul 2.30 ketika kami dibangunkan. Nagari Koto Malintang masih terlihat sangat sepi, tak satupun warga terlihat diluar. Sekilas jika dilihat dari fisik rumah, Nagari ini cukup makmur dengan bangun beton lumayan mewah untuk standar rumah kampung. Jalanyapun mulus seperti jalan tol Cipali cuma ituloh dinginnya itu ndak nahan. Sambil menahan dingin saya tergopoh gopoh mengikuti langkah kaki Saleh. Ntah kenapa Anto tanpa alasan tidak bisa mengantar saya parak durian. Keselamatan saya ia serahkan ke saudaranya yang bernama Saleh.
Mungkin dia takut, sebelum kami tidur warga sudah memperingatkan kami untuk berhati hati. Didekat parak durian ada batu besar yang masih dianggap “wingit” oleh masyarakat dan konon katanya pernah ada peneliti atau siapa saya lupa yang hilang di tempat tersebut.
Selepas kampung, parak durian terlihat gelap gulita, remang cahaya bulan tak mampu menembus lebatnya parak durian, hanya pucuk dahan yang tampak tamaram berbias dengan gelap. Ajaibnya selepas kampung, semakin dalam kita masuk parak, tanda-tanda kehidupan mulai terlihat. Api unggun dari gubug_gubug durian seperti kunang-kunang dalam gelap. Satu persatu gubug durian kami lewati. Dalam satu gubug terlihat 2 sampe 3 orang sedang duduk santai, disamping mereka durian terlihat sudah menggunung.
Saya sebenarnnya sangat was was berjalan dibawah ranjau durian tak terbayang benda seberat 3 kg dengan duri tajam jatuh dari.ketingian 20 hingga 30 meter namun saya lihat tak satupun penunggu durian menggunakan helm pengaman. Ya sudahlah berdoa saja semoga tidak ada yang jatuh di atas kepala saya.
Sampai di gubug terakhir, saleh tak kunjung berhenti. Sayapun bertanya tanya dalam hati “mau dibawa kemana saya ini”, Namun langkah saleh yang cepat dan terlihat terburu-buru membuat saya enggan bertanya. parakpun kembali gelap gulita. Kami hanya mengandalkan lampu kepala milik saleh untuk membelah gelap. Jalan aspal berhenti berganti jalan setapak, licin embun pagi yang mulai turun mulai membasahi sepatu dan celana panjang saya. 5 menit kemudian jalan menjadi sangat menantang dengan tanjakan yang membuat saya lemas dan berkeringat dingin.
Untuk memecah ketakutan segala doa saya baca, karena stok doa terbatas doa makanpun saya ikut saya rapal. Ingin rasanyan menyerah dan balik ke gubug durian dibawah, toh sama saja kata saya berontak dalam hati. Orang kampung mah gituh, untuk memberikan yang terbaik mereka pasti mencari lokasi yang paling bagus, sayangnya yang dilupakan adalah yang di bawa adalah lelaki yang masih dalam masa kembang alias “bincit” tak pernah berolahraga. Buat mereka mah jalan ini biasa, buat kita ya “matiq”.
Setelah tanjakan cukup tajam terlihat cahaya kecil seperti lilin ditengah hutan. Dari jarak ini aroma wangi duriaan semerbak harumnya sampai ketulang. Tak saya sangka gubug di tengah parak (kalau saya sih lebih afdol meyebutnya hutan) hanya di tunggu seorang wanita paruh baya . Hampir 100 malam, ia menunggu durian jatuh, dan hanya sesekali suaminya ikut menamani. “Alamak berani benar ibu ini, kalau saya, biar ditemanin Dian Sastro pun Ogah mendingan ngacir hotel”.
Menunggu Durian jatuh di tempat ini itu pasti , tak seperti Dian Sastro yang saya tunggu-tunggu di Mall Citos, tak pernah jatuh “eeh tak pernah muncul. Benar saja baru 5 teguk nafas “gedebug”!!! durian jatuh di kegelapan. Bergegas Uni berajak dari tempat duduknya, sepertinya ia tahu betul dimana letak durian jatuh, padahal secara kasat mana sangat sulit menentukan di mana titik jatuhanya durian ditengah kegelapan malam. makin pagi semakin banyak durian jatuh, Hampir setiap 5 menit 2atau 3 durian berjatuhan. Uni pun tak pernah meleset menebak arah jatuhan durian meski hanya bersenjatakan senter kecil.
Kali ini, saya cukup tau diri tak mau konyol ikut ambil durian, cukup melihat aksi Uni dari kejauhan membuaat saya kagum dan ngeri. Kurang waspada sedikit selesai urusan kita.
Api unggun di depan gubug durian selain sebagai penerangan dan pengahangat tubuh teryata punya fungsi lain. Bagi masyarakat di Kuto Maliantang, nyala api adalah tanda bahwa selain pemilik lahan tak seorang pun boleh ambil durian yang jatuh namun bila tak ada nyala api siapapun diperbolehkan untuk mengambil durian yang jatuh.
Di dalam gubug, durian sudah menggunung. Ini berkah tahunan yang dinikmati oleh sebagian besar warga Kuto Malintang, rata merekanmemiliki lahan seluas 2 sampai 3 hektar dengan jumlah pohon ratusan. Banyangkan saja di setiap 10 meter persegi ada sekitar 4 hungga 6 pokok durian dengan jumlah buah paling sedikit 200 buah perpohon. Tak hayal setiap hari pengepul seperti Uni ini bisa mengumpulkan 400 hingga 1000 buah dalam satu malam. Coba kalikan 5000 saja perbuah, hmmm….benar-benar, dapat durian runtuh disini bukan Cuma pribahasa.
Rejeki berlimpah biasa masih dikotori dengan ketamakan dalam terminologi sunda biasa di sebut “maruk”. Namun tidak disini di Nagari Kuto Malintang, ada waktu khusus selepas subuh hingga jam 6 pagi pemilik lahan rela berbagi rejeki dengan warga lain atau warga darimanapun yang tidak memiliki pohon durian. Di waktu tersebut setiap durian yang jatuh bebas diambil oleh siapapun alias gratis tis tis. tradisi ini mereka sebut Malangge
Hari mulai pagi ketika Uni mulai memelih buah durian, durian yang cacad, pecah atau di makan tupai ia belah dan dijadikan tempoyak asam durian hidangan khas kota jambi. 400 buah sudah di seleksi dan siap angkut ke pengempul, suaminya pun sudah datang siap membantu. Saya pikir tugas Uni sudah selesai, setelah begadang semalaman pasti ia sudah sangat lelah, namun perkiraan saya salah, 1 karung duriaan berisi sekitar 20 buah dengan berat kira kira 40 kg Uni sunggi diatas kepala. ingin rasanya saya membantu namun apalah daya beban perut saya pun sudah sangat merepotkan, berkali kali saya terpelanting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H