[caption caption="Tradisi nyongkolan pada masyarakat suku sasak Lombok, foto : google"][/caption]Kenyeselku merariq kodeq, tetariku belang mate, ndekne araq untung sebulan, terusku teseang Menyesal aku menikah masih kecil (usia dini), aku dirayu pada saat masa puber, belum ada keberuntungan satu bulan, lansung aku diceraikan.
Bagi masyarakat Pulau Lombok penikmat lagu – lagu sasak, membaca petikan lirik lagu tersebut mungkin tidak asing lagi dan sudang sangat populer di tengah masyarakat, “menyesal aku menikah masih kecil” merupakan lagu yang didendangkan Siti Jumaenah yang mengisahkan tentang bagaimana pernikahan usi dini telah membawa dampak buruk bagi kehidupan perempuan, bukannya membawa keberuntungan, melainkan penyesalan berkepanjangan.
Lagu yang didendangkan Siti Jumaenah, penyanyi asli masyarakat suku Sasak Lombok tersebut sekaligus merupakan sindiran dan gambaran, betapa menikah dini di kalangan perempuan masyarakat Nusa Tenggara Barat, khususnya perempuan Lombok menjadi persoalan cukup memperihatinkan dan belum mampu dientaskan sampai sekarang.
Pernikahan dini pada faktanya tidak saja telah berdampak bagi kesiapan mental anak perempuan yang menikah di usia dini menjalani kehidupan rumah tangga, karena tidak dipersiapkan secara matang, tapi juga telah berdampak buruk terhadap masa depan anak dalam menggapai mimpi dan cita – cita selama ini diharapkan.
Masa dan usia produktif yang seharusnya digunakan untuk belajar, menggali pengetahuan seluas mungkin, bercita –cita dan meraih apa yang selama ini dimimpikan harus terkubur dan digantikan dengan kehidupan baru menjadi ibu rumah tangga, mengasuh dan membesarkan anak, memikul beban pekerjaan dan kehidupan rumah tangga yang seharusnya belum pantas untuk dilakukan.
[caption caption="google "]
Kondisi tersebut secara lansung juga jelas akan sangat berpengaruh besar terhadap tumbuh kembang anak, hasil pernikahan menjadi tidak akan terurus dan faktor inilah sebenarnya yang menjadi salah penyebab kenapa Indeks Pembangunan Manusia masyarakat suatu daerah sulit bisa maju dan berkembang, tanpa terkecuali daerah NTB.
Berdasarkan catatan Badan Pemberdayaan, Perlindungan Perempuan dan Anak Keluarga Berencana NTB, angka pernikahan usia dini di NTB mencapai 50,1 persen, angka tersebut lebih tinggi dibandingkan persentasi angka nasional yang dirilis BKKBN, yaitu hanya mencapai 46,7 persen dan hal tersebut tidak saja terjadi di kota, tapi juga banyak berlansung pada sebagian besar masyarakat pedesaan.
Pada masyarakat pedesaan terutama di Pulau Lombok, acara pernikahan akan bisa dengan mudah ditemukan usai musim panen, muda mudi ramai – ramai menikah, mulai dari mereka yang sudah cukup usia, sampai anak – anak yang sedang menempuh pendidikan kelas dua atau tiga Sekolah Menengah Atas sederajat, lebih parah lagi tidak sedikit dari mereka nekad menikah saat sedang menempuh ujian nasional SMP maupun SMA dengan usia rata – rata di bawah 19 tahun.
Masalah ekonomi menjadi salah satu pemicu paling dominan mengapa angka pernikahan usia dini masih tinggi dan tidak saja berlansung di NTB, tapi juga beberapa daerah lain dengan angka pernikahan anak usia dini juga cukup tinggi, pengetahuan serta pemahaman tentang tujuan pernikahan serta dampak menikah dini bagi kesehatan reproduksi juga belum sepenuhnya bisa difahami.
[caption caption="google"]
Lewat dari itu bisa dikenakan sangsi, paling parah kalau sampai ditemukan berduaan meski tidak sampai melakukan perbuatan tidak dibenarkan, kedua pasangan bisa dinikahkan paksa meski belum cukup usia, karena dianggap telah melanggar aturan yang bisa menimbulkan aib bagi keluarga dan desa.
Pemerintah Daerah NTB sendiri, dengan angka pernikaha usia dini yang masih tinggi tersebut, bukan tidak berbuat dan membuat sejumlah kebijakan, beberapa kebijakan yang mengatur hl tersebut telah diberlakukan, salah satu kebijakan sebagai upaya menekan angka pernikahan usia dini adalah dengan menerbitkan surat edaran Gubernur NTB, nomor 150/1138/Kum tentang Pendewasaan Usia Perkawinan, merekomendasikan usia perkawinan untuk laki-laki dan perempuan minimal 21 tahun.
Dan NTB merupakan daerah pertama yang mendukung pelaksanaan Program Pendewasaan Usia Perkawinan dan saat masih dibahas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah NTB untuk diperkuat menjadi Undang – Undang, termasuk program Generasi Berencana yang digagas BKKBN dengan menggandeng mahasiswa dan pelajar.
Tapi memang aturan dan beberapa program menekan angka pernikahan usia dini dicanangkan tersebut tidak cukup efektif kalau masih sebatas aturan dan program yang hanya banyak melibatkan kalangan tertentu, tanpa menyentuh di tingkatan akar rumput, tapi harus dilakukan dengan menggandeng tokoh agama, masyarakat, pemuda dan tokoh budaya dengan terlibat secara lansung di tengah masyarakat, memberikan pemahaman tentang dampak buruk pernikahan usia dini.
Melalui pendekatan dengan turun secara lansung ke tengah masyarakat diharapkan akan bisa membantu menekan angka pernikahan usia dini, bukan malah membenarkan atau melanggengkan prakti tersebut dengan mengatasnamakan budaya dan dalil agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H