Mohon tunggu...
tunggul
tunggul Mohon Tunggu... Lainnya - menulis tanpa bakat

no hobbies required

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secangkir Kopi Bapak

4 Desember 2024   12:37 Diperbarui: 4 Desember 2024   12:38 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kupandangi teh panas dihadapanku. Diatas meja teras kecil disamping aku duduk. Uap teh panas bergerak naik perlahan, persis seperti iklan-iklan di tv jaman dulu. Cangkir putih bersih yang cukup lebar. Ini cangkir kesukaan isteriku dan tentu saja aku menyukainya juga. Menyukai cangkirnya, tehnya dan menyukai isteriku juga.

Mata tuaku menebar ke seantero taman kecil dipinggir rumah. Ada bunga-bunga entah namanya apa. Isteriku yang menanamnya dibantu oleh pak tukang kebun (sekaligus supir). Semua terasa asri. Andai ada suara burung-burung lepas bebas dan gemericik air, tentu ini menjadi sempurna. Tapi apakah ada yang sempurna di dunia yang fana ini?

"Lah kok nglamun ?. Diminum tehnya mumpung hangat pakne", ujug-ujug isteriku muncul dihadapanku.

Aku tersenyum. Ia selalu saja terlihat cantik dimataku.

"duduk sini Bune, temenin aku", ujarku sambil menggeser kursi teras rotan sedikit lebih dekat kepada kursiku.

Ia menggeser balik kursi itu ke posisi semula dan lalu duduk. "Kenapa liat-liat aku? Itu lho, tehnya diminum, mumpung hangat".

Aku tersenyum. Kuambil cangkir tehku, kusruput pelan-pelan. Kubiarkan aromanya masuk mewangi sampai ke tulang. Rasanya hangat menawan.

Rasanya ingin terus begini. Duduk bersama kekasih tercinta, menikmati senja meski hanya diteras kecil. Kurasa semua manusia menginginkannya.

Kembali kusruput teh menawan. Kini dalam teguk yang lebih besar. Isi teh langsung berkurang. Kini tinggal seperempatnya saja.

"kenapa diam saja? Tadi nyuruh duduk. Kirain ada yang mau diomongin", wajah kesal isteriku hanya menambah kerupawanannya. Aku lagi-lagi hanya bisa tersenyum.

"Malah senyam-senyum", protesnya itu hanya menambah lebar senyumku. Aku tahu, dia tak pernah bisa marah. Mana pernah dia marah kepadaku atau kepada anak-anak? Dia adalah bidadari nan sempurna.

"Lha piye? Kalau aku tertawa, gigiku sudah habis semua. Kalo ketawa, ya kliatan ompongnya toh", aku menjawab santai.

"Pak, kok senyum sendiri? Kangen bukne lagi ya? mau dibikinin teh lagi?", tiba-tiba anakku mbarep sudah muncul dihadapanku. Aku memperhatikannya, lalu tanpa sadar menoleh ke arah dimana isteriku mestinya duduk. Tak ada siapa-siapa, hanya bangku teras kosong itu saja. Mana tadi isteriku?

Aku menggeleng lemah. Kembali tersadarkan dari anganku sendiri.

Perlahan aku berdiri. "Ayuk nduk, sebentar lagi maghrib. Aku mau siap-siap ke mesjid", ujarku pendek.

Anakku mengambil cangkir teh yang masih tinggal seperempat itu. Mendampingiku masuk ke rumah.

Ternyata aku memang masih saja kangen, meski sudah sekian purnama. Meski masih bisa kucium harum aroma tubuhnya. Meski aku sejujurnya sudah ikhlaskan dirinya.

Biarlah kudoakan saja dia, seperti yang selalu aku lakukan selama ini. Bagaimanapun, aku siap saja jika tiba saatnya bagiku. Dan aku sungguh menantikannya. Kapanpun itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun