"Lha piye? Kalau aku tertawa, gigiku sudah habis semua. Kalo ketawa, ya kliatan ompongnya toh", aku menjawab santai.
"Pak, kok senyum sendiri? Kangen bukne lagi ya? mau dibikinin teh lagi?", tiba-tiba anakku mbarep sudah muncul dihadapanku. Aku memperhatikannya, lalu tanpa sadar menoleh ke arah dimana isteriku mestinya duduk. Tak ada siapa-siapa, hanya bangku teras kosong itu saja. Mana tadi isteriku?
Aku menggeleng lemah. Kembali tersadarkan dari anganku sendiri.
Perlahan aku berdiri. "Ayuk nduk, sebentar lagi maghrib. Aku mau siap-siap ke mesjid", ujarku pendek.
Anakku mengambil cangkir teh yang masih tinggal seperempat itu. Mendampingiku masuk ke rumah.
Ternyata aku memang masih saja kangen, meski sudah sekian purnama. Meski masih bisa kucium harum aroma tubuhnya. Meski aku sejujurnya sudah ikhlaskan dirinya.
Biarlah kudoakan saja dia, seperti yang selalu aku lakukan selama ini. Bagaimanapun, aku siap saja jika tiba saatnya bagiku. Dan aku sungguh menantikannya. Kapanpun itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H