Kupandangi teh panas dihadapanku. Diatas meja teras kecil disamping aku duduk. Uap teh panas bergerak naik perlahan, persis seperti iklan-iklan di tv jaman dulu. Cangkir putih bersih yang cukup lebar. Ini cangkir kesukaan isteriku dan tentu saja aku menyukainya juga. Menyukai cangkirnya, tehnya dan menyukai isteriku juga.
Mata tuaku menebar ke seantero taman kecil dipinggir rumah. Ada bunga-bunga entah namanya apa. Isteriku yang menanamnya dibantu oleh pak tukang kebun (sekaligus supir). Semua terasa asri. Andai ada suara burung-burung lepas bebas dan gemericik air, tentu ini menjadi sempurna. Tapi apakah ada yang sempurna di dunia yang fana ini?
"Lah kok nglamun ?. Diminum tehnya mumpung hangat pakne", ujug-ujug isteriku muncul dihadapanku.
Aku tersenyum. Ia selalu saja terlihat cantik dimataku.
"duduk sini Bune, temenin aku", ujarku sambil menggeser kursi teras rotan sedikit lebih dekat kepada kursiku.
Ia menggeser balik kursi itu ke posisi semula dan lalu duduk. "Kenapa liat-liat aku? Itu lho, tehnya diminum, mumpung hangat".
Aku tersenyum. Kuambil cangkir tehku, kusruput pelan-pelan. Kubiarkan aromanya masuk mewangi sampai ke tulang. Rasanya hangat menawan.
Rasanya ingin terus begini. Duduk bersama kekasih tercinta, menikmati senja meski hanya diteras kecil. Kurasa semua manusia menginginkannya.
Kembali kusruput teh menawan. Kini dalam teguk yang lebih besar. Isi teh langsung berkurang. Kini tinggal seperempatnya saja.
"kenapa diam saja? Tadi nyuruh duduk. Kirain ada yang mau diomongin", wajah kesal isteriku hanya menambah kerupawanannya. Aku lagi-lagi hanya bisa tersenyum.
"Malah senyam-senyum", protesnya itu hanya menambah lebar senyumku. Aku tahu, dia tak pernah bisa marah. Mana pernah dia marah kepadaku atau kepada anak-anak? Dia adalah bidadari nan sempurna.