Ia mulai kesepian. Orang terakhir telah pergi lama, meninggalkan dirinya sendirian disini, di pemakaman ini.
Bukan, ia bukan takut. Namun ia merasa sendiri saja. Adakah nanti arwah-arwah lain muncul dan pemakaman menjadi ramai? Ia menunggu dan menunggu. Namun lama sudah dan tidak ada apa-apa selain kesunyian. Ataukah mati memang identik dengan kesunyian?
Rasanya sudah berjam-jam, atau mungkin berhari-hari ?
Dalam sunyi yang panjang ia kesepian. Si mati tanpa apa-apa, tanpa siapa-siapa. Ingin rasanya ia menangis sedih. Padahal, sepanjang hidupnya dulu, iapun sering sendiri. Tapi kesunyian kali ini amat sangat terasa sunyi. Bukan, ini bukan rasa kehilangan tapi sungguh-sungguh ia merasa sepi.
Dalam sedih, ia tahu, tinggal menanti entah sampai kapan, datangnya malaikat penanya seperti yang sering didengarnya bahkan dia sendiri pernah berceramah tentang itu. Tapi kapan? Kapan malaikat penanya itu datang? Atau adakah malaikat penyiksa yang akan datang kepadanya? Datang dan langsung menyiksa begitu saja, tanpa menjelaskan mengapa dirinya harus disiksa?
Dan saat air matanya hampir menggenang, salam itu datang, “Assalaamu alaikum wa rahmatullaahi wa barokaatuh”.
Cepat ia menoleh dan menjawab salam. Sebuah sosok datang. Bukan pria bukan wanita, bukan juga malaikat atau setan atau arwah mayat lain di pekuburan itu. Bukan manusia, bukan arwah, bukan setan dan bukan malaikat. Tidak menakutkan, tidak mengagetkan. Bahkan hatinya senang bukan kepalang. Lupa bahwa sejenak tadi airmatanya hampir mengalir.
“Monggo silakan”, ujar si mati kepada sosok tadi.
Sosok itu tersenyum ramah, mengambil tempat berhadapan dengan si mati, “Aku amal baikmu. Sepertinya engkau tidak menantikanku?”, sosok itu berkata dengan suara penuh kesejukan yang menggembirakan hati. Si mati sumringah. Sama sekali lupa bahwa amal baik akan datang kepada mereka yang baik. Bukankah ia tadi malah mengangankan datangnya penanya atau penyiksa? Ia bukannya tidak menantikan. Ia hanyalah lupa.
“Sebentar lagi malaikat penanya datang”, sosok tadi seolah bisa menebak pikirannya. “Nah itu dia..”
Si mati memperhatikan. Itukah malaikat? Hatinya langsung percaya. Dari jauh saja ia sudah merinding terkesima. Jelas bukan manusia karena bersayap. Jelas bukan burung karena penuh kharisma. Takjub setakjub takjubnya. Inilah malaikat itu. Kini ia melihatnya secara langsung. Takjub takut terkesima dan entah apalagi, sampai tidak dperhatikannya sosok amal baik itu pamit undur diri.
Sambil mengangguk ramah kepada malaikat, sosok amal baik pergi menjauh. Benar-benar jauh dan menunggu. Tapi tidak lama ketika akhirnya kemudian malaikat itu mendatanginya. “Sudah selesai tugasku. Temanilah dan ceriakanlah”, ujar malaikat seraya pamit bersalam dan pergi begitu saja.
“Amal baik..!”, si mati berseru kepadanya saat sosok amal baik kembali mendatanginya. “Maaf aku tidak melihatmu pergi. Kukira engkau tidak kembali lagi”, ujar si mati.
Sosok amal baik tersenyum. Mengambil posisi berhadapan dan ia mendengar saja si mati sibuk bercerita. Tentang pertanyaan malaikat tadi, tentang kekhawatiran dan kelegaannya, tentang rasa kesepiannya. Dari kejauhan, seolah dua sahabat lama yang sedang saling bercengkrama.
“Menurutmu, apakah keluargaku sungguh-sungguh kehilangan diriku?”, akhirnya si mati mulai mengajukan pertanyaan.
“Tentu saja. Mereka kini sedang bersiap untuk pengajian 7 malam. Sebagian mereka masih sibuk melayani para tetangga dan tamu yang terus mengalir ke rumahmu. Apakah engkau mau melihat kesibukan itu? Aku akan menemanimu”, sosok amal baik berdiri bersiap.
Tapi si mati tetap saja duduk dan malah terdiam. Sejenak kemudian justru menggeleng, “tidak. Aku tidak interest dengan itu semua. Bukankah aku sudah meninggalkannya? Kehidupan dunia nan semu itu”. Ia mendongak kepada sosok amal baik, mengharap kesetujuan.
Amal baik tersenyum. Sungguh senyum yang menentramkan hati. “Jawabanmu sudah kuduga. Baiklah, kini gantian aku yang memberikan flashback segala amal baikmu dulu”.
Maka Amal baik bercerita, dengan cara yang begitu hebat sehingga kau bagai menonton bioskop kehidupanmu. Semua sejak awalnya..
Ada ceria, sedih, nestapa, jumawa dan segala rupa. Cerita yang begitu detail sehingga menghidupkan kembali segala kenangan yang sudah terlupa. Keduanya menangis dan tertawa. Kisah kehidupan selalu saja kembali kepada pelakunya, bagaimana menyikapinya. Sampai akhirnya..
“Mal. Bolehkah aku memanggilmu Mal?”, tanya si mati.
Sosok amal baik mengangguk ramah.
“Ceritamu indah sekali, meski belum sampai akhir. Tapi aku merasa penat dan ngantuk. Lagipula, akupun sudah tahu cerita selanjutnya. Bukankah itu semua adalah kisah kehidupanku?”
“Iya benar. Engkau tidak sadar betapa sungguh lama kita ngobrol seperti ini. Sudah waktunya engkau beristirahat. Istirahatmu akan amat sangat panjang atau sebentar, hanya Tuhan yang tahu. Engkau akan tidur sampai sangkakala kedua ditiup dan membangunkan semua. Tidurlah penuh rasa syukur. Kecerdasanmu menjalani hidup, membolehkanmu beristirahat tanpa gangguan. Keikhlasanmu telah mampu memahami arti kehidupan selanjutnya dan kehidupan sebelumnya. Engkau benar-benar tidak ingin melihat duniamu yang baru saja kau tinggalkan? Teman, saudara, pasangan, kolega, atau bahkan musuh yang mungkin kau punya?”
Si mati tertegun. Panjang dan lama.
Akhirnya ia menggeleng. “
Aku memilih tidur yang panjang, penuh rasa syukur. Tuhanku tidak pernah menyalahi janji. Terima kasih telah menemaniku. Engaku boleh pergi sekarang”. Si mati bersiap untuk tidur. Rasanya ngantuk luar biasa. Lega luar biasa.
Sosok amal baik tersenyum. “Tidurlah. Aku tidak kemana-mana. Menemanimu selamanya..”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H