Sambil mengangguk ramah kepada malaikat, sosok amal baik pergi menjauh. Benar-benar jauh dan menunggu. Tapi tidak lama ketika akhirnya kemudian malaikat itu mendatanginya. “Sudah selesai tugasku. Temanilah dan ceriakanlah”, ujar malaikat seraya pamit bersalam dan pergi begitu saja.
“Amal baik..!”, si mati berseru kepadanya saat sosok amal baik kembali mendatanginya. “Maaf aku tidak melihatmu pergi. Kukira engkau tidak kembali lagi”, ujar si mati.
Sosok amal baik tersenyum. Mengambil posisi berhadapan dan ia mendengar saja si mati sibuk bercerita. Tentang pertanyaan malaikat tadi, tentang kekhawatiran dan kelegaannya, tentang rasa kesepiannya. Dari kejauhan, seolah dua sahabat lama yang sedang saling bercengkrama.
“Menurutmu, apakah keluargaku sungguh-sungguh kehilangan diriku?”, akhirnya si mati mulai mengajukan pertanyaan.
“Tentu saja. Mereka kini sedang bersiap untuk pengajian 7 malam. Sebagian mereka masih sibuk melayani para tetangga dan tamu yang terus mengalir ke rumahmu. Apakah engkau mau melihat kesibukan itu? Aku akan menemanimu”, sosok amal baik berdiri bersiap.
Tapi si mati tetap saja duduk dan malah terdiam. Sejenak kemudian justru menggeleng, “tidak. Aku tidak interest dengan itu semua. Bukankah aku sudah meninggalkannya? Kehidupan dunia nan semu itu”. Ia mendongak kepada sosok amal baik, mengharap kesetujuan.
Amal baik tersenyum. Sungguh senyum yang menentramkan hati. “Jawabanmu sudah kuduga. Baiklah, kini gantian aku yang memberikan flashback segala amal baikmu dulu”.
Maka Amal baik bercerita, dengan cara yang begitu hebat sehingga kau bagai menonton bioskop kehidupanmu. Semua sejak awalnya..
Ada ceria, sedih, nestapa, jumawa dan segala rupa. Cerita yang begitu detail sehingga menghidupkan kembali segala kenangan yang sudah terlupa. Keduanya menangis dan tertawa. Kisah kehidupan selalu saja kembali kepada pelakunya, bagaimana menyikapinya. Sampai akhirnya..
“Mal. Bolehkah aku memanggilmu Mal?”, tanya si mati.
Sosok amal baik mengangguk ramah.