Mohon tunggu...
Tundung Memolo
Tundung Memolo Mohon Tunggu... Penulis - Tentor dan Penulis Buku, dll

Mendapat kesempatan mengikuti diklat dan lomba hingga ke luar kota dan luar negeri dari kementerian sehingga bisa merasakan puluhan hotel bintang 3 hingga 5. Pernah mendapat penghargaan Kepsek Inspiratif Tingkat Nasional Tahun 2023.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yuk, Kepoin Jomo vs Fomo, Apa Bedanya?

2 Februari 2025   19:19 Diperbarui: 2 Februari 2025   19:11 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di era digital yang serba cepat ini, dua istilah yang sering muncul adalah FOMO (Fear of Missing Out) dan JOMO (Joy of Missing Out). 

Kedua istilah ini menggambarkan cara seseorang merespons lingkungan sosialnya, terutama dalam penggunaan media sosial. 

FOMO mengacu pada rasa takut ketinggalan sesuatu yang menyenangkan atau penting, sementara JOMO adalah kebalikannya—perasaan bahagia karena tidak ikut serta dalam suatu tren atau kegiatan. 

Keduanya mempengaruhi kehidupan kita secara berbeda, baik secara emosional maupun dalam pengambilan keputusan sehari-hari.

FOMO sering kali muncul akibat eksposur berlebihan terhadap media sosial. 

Ketika seseorang melihat teman-temannya mengunggah foto liburan ke Bali, menghadiri konser band favorit, atau sekadar makan di restoran mahal, muncul perasaan "Aku juga harus melakukan itu." 

Rasa takut ketinggalan ini membuat orang cenderung mengambil keputusan berdasarkan tekanan sosial daripada keinginan pribadi. 

Misalnya, seseorang yang awalnya tidak terlalu suka konser tiba-tiba membeli tiket mahal hanya karena melihat teman-temannya pergi. 

Begitu juga dalam dunia investasi, banyak orang terjebak dalam FOMO ketika melihat orang lain meraup keuntungan dari bisnis online, sehingga mereka ikut berinvestasi tanpa riset yang matang.

Contoh nyata lainnya adalah dalam dunia kuliner. Misalnya, ketika ada restoran baru yang viral di media sosial, orang-orang berlomba-lomba untuk mencobanya. 

Bahkan ada yang rela antre berjam-jam hanya demi memposting foto makanan yang sama dengan yang sedang tren. 

Padahal, bisa jadi mereka sebenarnya tidak terlalu suka makanannya, tetapi lebih takut dianggap tidak mengikuti tren. 

Ini adalah efek FOMO yang nyata, di mana keputusan seseorang lebih banyak didorong oleh rasa takut tertinggal dibandingkan dengan kesenangan pribadi.

Di sisi lain, JOMO menawarkan perspektif yang lebih santai dan penuh kesadaran. Orang dengan JOMO tidak merasa perlu mengikuti setiap tren atau menghadiri setiap acara sosial hanya demi eksistensi. 

Mereka lebih memilih menikmati momen mereka sendiri tanpa tekanan eksternal. Misalnya, saat ada pesta besar yang dihadiri banyak orang terkenal, seseorang dengan JOMO mungkin lebih memilih untuk menghabiskan waktu di rumah dengan membaca buku atau menonton film favorit. 

Mereka tidak merasa kehilangan apa pun karena mereka menikmati apa yang mereka lakukan.

Contoh lainnya adalah dalam dunia pekerjaan. Seseorang dengan FOMO mungkin akan selalu mengejar setiap peluang kerja baru, menghadiri semua seminar, dan merasa cemas jika tidak mengikuti setiap perkembangan terbaru dalam industri mereka. 

Sebaliknya, seseorang dengan JOMO akan lebih selektif dalam memilih kegiatan yang benar-benar bermanfaat bagi mereka. 

Mereka tidak merasa perlu untuk selalu hadir di setiap kesempatan networking jika mereka merasa itu tidak sesuai dengan tujuan atau minat mereka.

Dampak psikologis dari FOMO dan JOMO juga berbeda. FOMO sering kali dikaitkan dengan kecemasan, stres, dan bahkan depresi karena seseorang merasa tertinggal atau tidak cukup baik dibandingkan orang lain. 

Sebaliknya, JOMO dikaitkan dengan kebahagiaan, ketenangan, dan rasa puas dengan hidup. Dengan menerima JOMO, seseorang dapat menikmati hidup dengan lebih autentik dan tanpa tekanan eksternal yang berlebihan.

Namun, ini bukan berarti JOMO selalu lebih baik daripada FOMO. Dalam beberapa situasi, FOMO bisa menjadi pendorong untuk mencoba hal-hal baru dan keluar dari zona nyaman. 

Misalnya, seseorang yang takut ketinggalan dalam karier mungkin akan lebih termotivasi untuk belajar keterampilan baru. 

Tetapi jika FOMO berlebihan, justru bisa membuat seseorang selalu merasa tidak cukup, bahkan ketika mereka telah mencapai banyak hal.

Sebaliknya, JOMO yang berlebihan juga bisa berdampak negatif jika seseorang terlalu nyaman dengan pilihannya sehingga menutup diri dari pengalaman baru. 

Jika seseorang selalu memilih untuk tinggal di rumah dan menolak semua ajakan sosial, mereka bisa kehilangan peluang penting untuk berkembang dan bersosialisasi. 

Oleh karena itu, keseimbangan antara JOMO dan FOMO adalah kunci untuk menjalani hidup dengan lebih sehat dan bahagia.

Kesimpulannya, baik FOMO maupun JOMO adalah respons psikologis terhadap kehidupan sosial dan digital yang kita jalani saat ini. 

FOMO bisa mendorong seseorang untuk lebih aktif dan terlibat dalam banyak hal, tetapi jika berlebihan, dapat menyebabkan stres dan tekanan sosial. 

Sementara itu, JOMO memberikan kebebasan untuk memilih apa yang benar-benar membuat kita bahagia tanpa harus mengikuti standar orang lain. 

Pada akhirnya, hidup yang paling baik adalah hidup yang kita jalani dengan kesadaran penuh—bukan karena takut ketinggalan, tetapi karena kita tahu apa yang benar-benar membuat kita puas dan bahagia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun