Menunggu adalah seni yang membutuhkan kesabaran tingkat dewa. Apalagi kalau yang ditunggu itu motor kesayangan yang sedang diservis.Â
Di bengkel, waktu serasa melambat seperti jam di kantor pas kamis siang. Tapi sebagai junior penulis Kompasiana yang sok gigih (heran hanya 1 artikel utama yg masuk,hehehe), saya mencoba mengubah momen ini jadi kesempatan emas untuk menulis.
Bengkel: Tempat Inspirasi atau Ujian Mental?
Saya duduk di kursi kayu yang sepertinya sudah saksi bisu banyak orang merenungi hidup. Di depan saya, ada layar TV kecil yang menampilkan sinetron dengan volume maksimal---mungkin sebagai pengganti sirine kebakaran kalau ada motor yang tiba-tiba meledak.
Di sudut lain, ada bapak-bapak yang kelihatannya lebih sabar menunggu motornya daripada saya menunggu artikel masuk utama. Lalu, ada anak kecil yang sedang bermain dengan baut, seolah sedang merakit motor versi mininya sendiri. Inspirasi tulisan bisa datang dari mana saja, bukan?
Menulis di Bengkel: Antara Fokus dan Tantangan
Saya coba membuka lepi, tapi kemudian sadar kalau ini bengkel, bukan coworking space. Jadi saya ambil ponsel dan mulai mengetik di aplikasi Kompasiana. Begitu jempol mulai menari di layar, tiba-tiba ada suara "Pak, ini lakernya minta ganti" dari mekanik yang menjatuhkan sesuatu. Konsentrasi hilang. Saya curiga, apakah ini strategi bengkel agar pelanggan fokus menunggu, bukan malah sibuk main HP?hehehe.
Saya coba lagi menulis. Kali ini tentang kesabaran. Baru satu paragraf, ada bapak-bapak yg coba nego harga, kek bisnis dgn pemilik bengkel terbesar di kecamatan  ini.Â
Saya hampir mau nguping untuk bahan tulisan, tapi sadar ini bukan program investigasi.
Artikel Utama: Bukan Impian yang Harus Dikejar