Kritik yang disampaikan oleh organisasi atau lembaga swadaya masyarakat seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan wajib dihormati dalam konteks demokrasi. Namun kritik mestinya berbasis data dan fakta. Kritik tanpa pijakan kuat justru mengesankan adanya agenda lain di baliknya. Mari kita bedah 10 poin kritik yang disampikan LBH Jakarta atas kepemimpinan Gubernur Anies selama empat tahun.
1. Buruknya kualitas udara Jakarta
Kualitas udara di Jakarta bukan isu baru. Namun menyebut Pemprov DKI abainya melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan jelas tidak berdasar. Bahkan sejak 2019 lalu Anies telah mengeluarkan Intruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara.
Banyak sekali program yang dilakukan Pemprov DKI untuk mengendalikan kualitas udara seperti meningkatkan layanan moda transportasi secara terintegral, memperlebar serta mempercantik trotoar agar ramah bagi pejalan kaki, dan membangun jalur sepeda. Muara dari kebijakan ini adalah menekan penggunaan kendaraan pribadi yang menjadi penyokong utama polusi udara di Jakarta.
Apakah LBH Jakarta telah memasukan fakta ini ketika menyebut “Pemprov DKI abai” dalam upaya pencegahan dan penanggulangan polusi udara di Jakarta?
2. Sulitnya akses air bersih di Jakarta akibat swastanisasi air
Swastanisasi air dilakukan oleh pejabat sebelumnya. Menurut salah seorang pengacara publik Alghiffari Aqsa, swastanisasi air di Jakarta sudah berlangsung sejak 21 tahun lalu. Selama ini nyaris tidak ada lembaga yang peduli sampai akhirnya digugat ke Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2017.
Gubernur Anies langsung membentuk Tim Kelola Tata Air melalui Keputusan Gubernur Nomor 1149 Tahun 2018 untuk menindaklanjuti putusan MA yang memerintahkan agar pengelolaan air di Jakarta dikembalikan ke pemerintah daerah. Anies juga menugaskan PD PAM Jaya selaku BUMD Pemprov DKI untuk berunding dengan pihak swasta yang memegang kontrak pengelolaan air di Jakarta.
Namun di tengah jalan, langkah Tim Kelola Tata Air terganjal ketika Kementerian Keuangan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan MA dan dikabulkan karena penggugat (KMMSAJ) dinyatakan tidak memenuhi syarat Citizen Law Suit.
Apakah LBH Jakarta sudah mempelajari hal ini sebelum mengeluarkan kertas merah?
3. Penanganan banjir belum mengakar pada penyebab.
Poin ini cukup menarik justru karena jauh panggang dari api. Jika LBH jakarta mau sedikit menengok data banjir di Jakarta selama 4 tahun terakhir, mungkin poin ini tidak akan ada. Bukan hanya luas cakupan wilayah banjir yang berkurang dratis dibanding tahun-tahaun sebelumnya, lama genangan air yang terjadi saat hujan lebat dengan intensitas tinggi, tidak sampai 2 jam. Tidak sampai berhari-hari seperti tahun 2017, apalagi 2015 lalu.
Lebih menggelikan lagi ketika LBH Jakarta memasukan poin betoninsasi yang disebutnya masih menjadi kebijakan penanganan banjir di era Gubernur Anies. Apakah LBH Jakarta lupa jika poin perdebatan paling “keras” saat musim hujan tiba adalah tudingan keengganan Anies melanjutkan betonisasi sungai?
Dari sini dapat dilihat, paparan LBH sangat kontradiktif dengan realita di lapangan. Terlebih sejak awal, Anies menekankan pentingnya mengembalikan air ke dalam bumi, bukan mengalirkan ke hilir sambil terus menggencarkan pengerukan lumpur melalui program grebek lumpur.
4. Penataan kampung kota yang belum partisipatif.
LBH Jakarta mestinya mau sedikit menjejakan kaki ke Kampung Akuarium, Kamapung Kunir atau Kampung Susun Tumbuh Cakung yang dihuni eks gusuran Kampung Duri lalu bertanya pada penghuninya. Gubernur Anies adalah satu-satunya gubernur GKI yang memberikan tempat tinggal untuk para korban gusuran era sebelumnya.
Bagaimana mungkin Anies melakukan penggusuran secara sewenang-wenang, apalagi sampai melanggar HAM, sedang korban gusuran era sebelumnya saja mendapat perhatian serius. Sekali lagi asumsi LBH Jakarta tidak mengacu pada fakta dan data di lapangan.
5. Ketidak seriusan Pemprov DKI Jakarta dalam memperluas akses terhadap bantuan hukum.
Poin ini sangat subjektif karena tolok-ukurnya hanya anggaran, bukan kasus perkasus. Pertanyaan paling sederhananya adalah, adakah warga miskin Jakarta yang tidak mendapat bantuan dan perlindungan hukum? Coba LBH Jakarta ungkap data, ada berapa kasus warga miskin yang kesulitan mengakses bantuan hukum?
6. Sulitnya memiliki tempat tinggal di Jakarta.
Sejak kapan warga Jakarta mudah memiliki rumah di Jakarta? Ini problem klasik yang justru sedang diurai dengan konsep penataan kampung dan penyediaan rumah DP 0 persen. Namun kemudian mendapat hambatan dan tantangan dari berbagai pihak yang tidak menginginkan program ini terlaksana dengan baik.
Sungguh pun demikian, Gubernur Anies tetap melaksanakn janjinya dengan menghadirkan ribuan unit rumah DP 0 persen. Secara politik, realisasi janji Anies jauh lebih baik jika dibandingkan dengan janji-janji politik para pemimpin sebelumnya. Ada perubahan target, tentu karena disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini.
7. Belum ada bentuk intervensi yang signifikan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait permasalahan yang menimpa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kita berharap LBH Jakarta mau membaca laporan hasil kajian Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan dengan judul “Wajah Baru Pesisir Jakaarta”. Dari kajian itu Gubernur Anies merancang kebijakan penataan kawasan pesisir dengan penekanan khusus pada integrasi menyeluruh, menuntaskan persoalan yang ada dengan pendekatan multisektor dan multidisipliner.
Tentunya program ini tidak selesai dalam semalam. Namun tapakan dan tahapan penataan yang telah dilakukan dan saat ini terus berjalan, adalah bukti konkret keberpihakan Anies pada masyarakat pesisir Jakarta.
8. Penanganan pandemi yang masih setengah hati.
Jika poin dibaca oleh mereka yang memperhatikan penanganan pandemi Covid-19 oleh Pemprov DKI bersama jajaran Forkominda, termasuk TNI/Polri, mungkin LBH Jakarta harus “cuci muka”. Sebab LBH Jakarta mengabaikan sederet fakta ini.
Pertama, di awal pandemi, DKI yang paling sigap mengeluarkan berbagai kegiatan pembatasan kegiatan masyarakat, salah satunya pembetasan transportasi publik untuk lalu-lintas warga dengan tujuan menekan laju sebaran vuirus penanganan. Kebijakan ini dikeluarkan sebelum pemerintah ousat menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Kebijakan ini mendapat tentangan dari berbagai pihak yang tidak ingin kehilangan muka sehingga berbagai kebijakan Anies dimentahkan, termasuk soal pembatasan transportasi oleh Keneterian Perhubungan.
Kedua, jumlah yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Jakarta tidak semuanya warga Jakarta. Namun tingginya angka warga yang terkonfirmasi positif Covid-19 adalah bukti keseriusan Pemprov DKI melakukan testing dan tracing. DKI Jakarta adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang melakukan testing dan tracing sesuai, bahkan melebihi, standar yang diterapkan badan kesehatan dunia (WHO).
Ketiga, ketika program vaksinasi mulai dijalankan, DKI Jakarta adalah provinsi dengan prosentase vaksinasi tertinggi, melebihi target yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.
Dari mana sumber atau basis data LBH Jakarta sampai tega mengatakan penanganan Covid-19 dilakukan setengah hati? Asumsi tanpa dasar yang tidak mungkin dilontarkan jika LBH Jakarta memiliki sedikit pemahaman terkait penanganan Covid-19.
9. Penggusuran paksa masih menghantui warga Jakarta.
Lagi-lagi asumsi tanpa dasar. Tidak ada penggusuran di Jakarta era sekarang yang tidak didahului dengan musyawarah. Harus dipahami, penggusuran sebuah keniscayaan dalam perkembangan dan penataan kota. Poin terpenting dari penggusuran adalah nasib korbannya.
Meski penggusuran dilakukan atas dasar hukum yang kuat, semisal karena pelanggaran hukum, namun kegiatan penggusuran selalu dilakukan sevara manusiawi dengan didahului musyawarah. Tidak ada gusuran yang diputuskan dalam semalam hanya karena sebuah insiden.
10. Reklamasi yang masih terus berlanjut.
Jika yang dimaksud ketidakkonsistenan penghentian reklamasi karena Gubernur Anies mengeluarkan Peraturan Gubernur No 58/2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta, maka LBH benar. Sebab tidak mungkin pulau-pulau reklamasi yang sudah terbentuk, dibongkar. Biayanya trilunan untuk membuang tumpukan pasir urug yang terlanjur dipadatkan.
Tetapi bahwa Gubernur Anies menghentikan aktifitas dan kelanjutan reklamasi dengan mencabut izinnya, harus juga diapresiasi. Bahwa kemudian sebagian digugurkan oleh pengadilan, harus dipahami kompleksitasnya. Tangan gubernur tidak dapat menjangkau lembaga peradilan. Artinya itu hal berbeda. []
Baca Juga :
Prasetyo Edi Masih Kader PDIP atau Sudah PSI?
Anies, Tembakau dan Hegemoni Cukong Rokok
Terungkap, Misteri Sidang Paripurna DPRD DKI Jakarta yang Dipaksakan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H