Mohon tunggu...
K.R. Tumenggung Purbonagoro
K.R. Tumenggung Purbonagoro Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Pengamat dan Suka Menulis Twitter: twitter.com/purbonagoro

Selanjutnya

Tutup

Politik

Terungkap, Misteri Sidang Paripurna DPRD DKI Jakarta yang Dipaksakan

4 Oktober 2021   17:46 Diperbarui: 11 Oktober 2021   05:42 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain ada dugaan maladminitrasi karena melanggar ketentuan dan prosedur, sidang paripurna DPRD DKI Jakarta ternyata juga ada hidden agenda yang coba disusupkan. Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi pun terkena jebakan. Siapa yang tega menjerumuskan Prasetio Edi dan PDIP?

Seperti diketahui, Fraksi PSI  dan PDIP nekad menggelar paripurna Selasa (28/9) lalu, meski dengan cara memanipulasi undangan rapat badan musyawarah (Bamus). Rencana rapat paripurna membahas interpelasi sebenarnya tidak tercantum dalam undangan rapat. Tetapi Bamus yang diketuai Prasetio memutuskan menggelar paripurna untuk menjatuhkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melalui isu yang dipaksakan.

Alhasil, bukan hanya paripurna tidak dihadiri angggota DPRD di luar para penggagas, 7 fraksi yang tersinggung melaporkan Prasetio ke Badan Kehormatan (BK) DPRD.

Ketua Fraksi Golkar DPRD DKI Jakarta, Basri Baco, mengatakan pelaporan Prasetio ke BK dimaksudkan untuk menjaga marwah DPRD sebagai lembaga terhormat, bukan lembaga yang dapat dimanipulasi untuk kepentingan satu-dua anggotanya.

"Sebagai bentuk tanggung jawab kami untuk menjaga agar lembaga terhormat ini tetap berjalan dengan baik, maka kita punya kewajiban untuk mengingatkan siapapun yang melanggar ketentuan dan aturan main," kata Basri usai melaporkan Prasetio.

Memang sungguh ironi ketika PDIP tiba-tiba menjadi follower PSI dalam upaya menjatuhkan Gubernur Anies. Padahal di DPRD DKI, PDIP pemilik kursi terbesar yakni 25 kursi, DPRRI juga merupakan the ruling party. Sementara PSI, sekedar untuk memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold) saja, gagal. Sebuah ironi di dalam dunia politik ketika partai besar justru  mengekor isu yang diciptakan oleh partai gurem dan tidak memiliki kursi di DPR seperti PSI.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Pertama, PDIP kekurangan kader-kader cerdas yang mampu membangun isu-isu brilian. Padahal PDIP DKI mustinya diisi oleh kader-kader Ibu Kota yang dekat dengan isu-isu nasional dan memiliki akses informasi dann sumberdaya lebih dekat.

Kedua, mungkin saja PDIP disusupi kepentingan PSI melalui kadernya. Seperti kita ketahui, PSI didirikan oleh para mantan relawan Ahok selama Pilkada DKI 2017. Salah satu anggota Fraksi PDIP di DPRD DKI adalah Ima Mahdiah yang notabene bekas YMT-nya (yang membawakan tas) Ahok. 

Bahkan Ima mengakui, selalu melaporkan kegiatannya di DPRD kepada Ahok seperti dalam kasus permintaan kenaikan gaji. Tentu aneh ketika anggota DPRD justru melapor kepada pihak lain sekali pun belakangan Ahok bergabung dengan PDIP.

Ketiga, terkait paripurna yang dipaksakan, muncul spekulasi adanya informasi yang salah alias ‘jebakan batman’ kepada Prasetio. Diduga Prasetio mendapat jaminan bodong dari kadernya tentang akan adanya pembelotan beberapa anggota fraksi di luar PSI dan PDIP. 

Sebab secara logika, Prasetio tentu paham isu yang hendak dibawa ke paripurna membutuhkan kuorum atau sedikitnya 54 suara. Sedang gabungan PDIP dan PSI hanya memiliki 33 kursi. Bahkan yang hadir hanya 32 anggota.

Inilah jawaban dari teka-teki mengapa Prasetio yang merupakan politisi senior bisa melakukan blunder luar biasa.

Kita berharap PDIP sebagai the ruling party lebih fokus membantu pemerintah menangani masalah pandemi, utang yang terus membengkak dan kesenjangan sosial di mana pertumbuhan kemiskinan melejit dalam setahun terakhir.

PDIP harus berani menegur sikap kadernya di DPRD DKI yang kini terbawa isu receh yang ditabuh partai lain. Terlebih PSI secara politik adalah kompetitor PDIP karena terbukti berhasil menggerus basis konstituennya.

Ingat, pada Pemilu 2014 sebelum ada PSI, PDIP DKI mampu mendulang 28 kursi. Sementara pada Pemilu 2019 yang diikuti PSI, PDIP kehilangan 3 kursi. Ke mana pindahnya tiga kursi itu? Tentu saja pindahnya ke PSI. Fakta tidak terbantahkan. 

Jika sekarang PDIP mengikuti isu yang digelontorkan PSI dengan muatan sakit hati atas kekalahan Ahok, bukan hal mustahil jika perolehan kursi PDIP di DPRD DKI pada Pemilu 2024 mendatang berkurang dratis.

Jangan sampai PDIP menjadi Giant dalam film Doraemon. Meski bertubuh lebih besar namun planga-plongo sehingga mudah diatur oleh Suneo yang bertubuh kecil namun licik. []

Baca Juga

Karakter Suneo-Giant vs Doraemon dalam Koalisi PSI-PDIP di DPRD DKI Jakarta

Pemecatan Viani Limardi Bukti Kebencian PSI pada Anies

Syahwat Politik Jatuhkan Anies, PSI-PDIP Mulai Main Kayu

PSI, Partai Solidaritas Interpelasi Anies Baswedan

Pemeriksaan KPK ke Anies Sarat Kepentingan Politik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun