Sebab secara logika, Prasetio tentu paham isu yang hendak dibawa ke paripurna membutuhkan kuorum atau sedikitnya 54 suara. Sedang gabungan PDIP dan PSI hanya memiliki 33 kursi. Bahkan yang hadir hanya 32 anggota.
Inilah jawaban dari teka-teki mengapa Prasetio yang merupakan politisi senior bisa melakukan blunder luar biasa.
Kita berharap PDIP sebagai the ruling party lebih fokus membantu pemerintah menangani masalah pandemi, utang yang terus membengkak dan kesenjangan sosial di mana pertumbuhan kemiskinan melejit dalam setahun terakhir.
PDIP harus berani menegur sikap kadernya di DPRD DKI yang kini terbawa isu receh yang ditabuh partai lain. Terlebih PSI secara politik adalah kompetitor PDIP karena terbukti berhasil menggerus basis konstituennya.
Ingat, pada Pemilu 2014 sebelum ada PSI, PDIP DKI mampu mendulang 28 kursi. Sementara pada Pemilu 2019 yang diikuti PSI, PDIP kehilangan 3 kursi. Ke mana pindahnya tiga kursi itu? Tentu saja pindahnya ke PSI. Fakta tidak terbantahkan.Â
Jika sekarang PDIP mengikuti isu yang digelontorkan PSI dengan muatan sakit hati atas kekalahan Ahok, bukan hal mustahil jika perolehan kursi PDIP di DPRD DKI pada Pemilu 2024 mendatang berkurang dratis.
Jangan sampai PDIP menjadi Giant dalam film Doraemon. Meski bertubuh lebih besar namun planga-plongo sehingga mudah diatur oleh Suneo yang bertubuh kecil namun licik. []
Baca Juga
Karakter Suneo-Giant vs Doraemon dalam Koalisi PSI-PDIP di DPRD DKI Jakarta
Pemecatan Viani Limardi Bukti Kebencian PSI pada Anies
Syahwat Politik Jatuhkan Anies, PSI-PDIP Mulai Main Kayu