Mohon tunggu...
K.R. Tumenggung Purbonagoro
K.R. Tumenggung Purbonagoro Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Pengamat dan Suka Menulis Twitter: twitter.com/purbonagoro

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Wayang Virtual bersama Anies Baswedan: Pandawa Kridha

29 April 2021   06:53 Diperbarui: 29 April 2021   06:57 1162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Persatuan Pedalaman Indonesia

Pengantar: 

Tanggal 28 Februari 2021, Paguyuban Pelestari Budaya Nusantara bekerjasama dengan PEPADi dan didukung oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyelenggarakan acara wayang virtual dengan lakon "Pandawa Kridha". Pagelaran wayang ini dalam rangka sosialisasi Prokes Covid19:3M. Acara yang di-streaming langsung melalui youtube Dalang Brimob tersebut menghadirkan dhalang Ki Nanang Hp S.Sn. Berikut ini adalah risalah ceritanya.

==========================

Adegan Pertama

Suasana pertemuan agung di Negara Hastina, sedang menhadap Sang Prabu Duryudana adalah Pandito Durna, Patih Sengkuni, Adipati Karno, Kartomarmo dan Aswotomo. Setelah bage-binage, Sang Kurupati menyampaikan inti pertemuannya adalah: Sang Duryudono gelisah atas mimpinya. Dalam mimpinya, terjadi banjir bandang di Negara Hastina yang menghanyutkan serta memporak-porandakan seluruh isi Negara Hastina. Duryudana meminta pendapat kepada Pujangga Hastina tentang makna mimpinya serta solusinya.

Pendito Durno menafsirkan mimpi tersebut bahwa Negara Hastina dalam ancaman peperangan besar, dan menurut Sang Pujangga tersebut ancamannya dari Amarta (Para Pandawa). Solusinya adalah dengan mencari tumbal Negara. Agar Hastina selamat dari bencana tersebut maka harus ditumbali dengan mengubur kepala Semar di tengah alun-alun Hastina.

Duryudana meminta pendapat yang hadir atas pendapat Durna tersebut. Patih Sengkuni serta Adipati Karno sepakat dengan pendapat Durna, sebab dengan diambilnya atau dibunuhnya Semar maka Pendawa akan kehilangan semangatnya, lumpuh tak berdaya, karena Semar adalah Pamong Agung Ngamarta dan sumber daya atau kekuatan Ngamarta.

Pada akhir pertemuan Duryudana memerintahkan Durna, Sengjuni dan Karna beserta wadyo-bolo segelar-sepapan untuk menuju Karang Kadempel memboyong Semar. Bila Semar menolak maka perintah Duryudana Karang Kadempel harus dibumi hanguskan!

Adegan Kedua

Suasana pasewakan agung di Negara Ngamarto. Prabu Yudistira sedang menerima kehadiran Prabu Kresna yang dijemput Gatutkaca untuk hadir di Ngamarta atas undangan Prabu Puntodewo. Pertemuan lengkap Prabu Yudistira, Nakula dan Sadewa duduk sejajar dengan Prabu Yudistira, sementara dihadapan Sang Prabu duduk Prabu Kresna, Bhimo (Werkudara), Hardjuna, dan tak ketinggalan anak-anak Werkudoro sebagai benteng keamanan Negara Ngamarta yaitu Gatutkaca, Antaredja dan Antasena.

Setelah bage-binagen, maka Sang Prabu Yudistira menyampaikan maksudnya menghadirkan Sri Kresno ke Ngamarto. Maksudnya tidak lain dan tidak bukan adalah tentang pedhut (bencana) yang terjadi di Ngamarta dengan murca-nya atau hilangnya tiga pusaka kerajaan dari tempatnya. Tiga pusaka yang hilang yaitu: Jimat Jamus Kalimosodo, Tombak Kyai Jolo Korowelang, dan Songsong Agung Tunggul Nogo.

Sang Sri Kresno, setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Sang Prabu Yudistira malah gelap kemana murca-nya ke tiga pusaka tersebut. Untuk itu Sang Kresna menyarankan serta mengajak Sang Prabu Yudistira dan Hardjuna untuk pergi menemuai Kyai Semar ke Karang Kadempel untuk meminta tolong bantuannya memecahkan teka-teki ini.

Berangkatlah ke tiga pemimpin ini ke Karang Kadempel dikawal oleh Gatutkaca, Antarejo dan Antasena. Sementara Werkudoro, Nakulo dan Sadewo tetap di Ngamarta untuk menunggu kerajaan serta menunggu hasil dari yang berangkat ke Karang Tumaritis.

Adegan Ketiga

Di perbatasan Karang Kadempel Raden Anoman yang memang lebih dulu sowan Ki Lurah Semar bersama-sama dengan Gatutkaca, Antarejo dan Ontoseno diperintah oleh Kyai semar untuk menjaga perbatasan pintu gerbang di Karang Kadempel, karena Ki Lurah Semar sedang menerima tamu Petinggi Ngamarta dan sedang membicarakan sesuatu hal yang sangat penting. Untuk itu siapapun yang akan menemui Ki Lurah Semar tidak di ijinkan masuk mengganggunya dan harus ditolak.

Tidak lama mereka berjaga datanglah Durna, Sengkuni dan Karna yang dibelakangnya telah bersiap pasukan Kurawa segelar-sepapan lengkap dengan persenjataan untuk perang. Terjadilah dialog diantara keduanya (Durna dan Anoman). Masing-masing bersikukuh pada tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Akhirnya terjadilah peperangan antara rombongan Kurawa yang dipimpin Durna dengan penjaga keamanan Karang Kadempel yang dipimpin Anoman. Singkat cerita, pasukan Kurawa bisa dipukul mundur oleh Anoman dkk, akhirnya Durna memerintahkan semua pasukannya kembali ke Hastina.

Adegan Keempat

Suasana di luar pendopo Karang Kadempel, anak-anak Semar yaitu Gareng Petruk dan Bagong sedang geguyonan sambil membicarakan situasi Pandemi Covid-19 (Situasi ini adalah momentum untuk menyampaikan misi sosialisasi protokol kesehatan sebagaimana poin-poin yang sering disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan). Setelah puas jagongan, gegojekan dan gegendingan dan  jogetan, Semar memanggil mereka untuk menghadap ke pendopo Karang Kadempel.

Adegan Kelima

Suasana Pendopo Karang Kadempel dimana Ki Lurah Semar sedang menerima tamu Agung Prabu Sri Bathoro Kresno,Prabu Darmo Kusumo dan Satrio Madukoro Raden Hardjuno. Setelah bage-binagen, Prabu Puntodewo dan Prabu Kresno menyampaikan maksud dan tujuannya ke Karang Kadempel untuk minta tolong kepada Kakang Bodronoyo menyingkap tabir hilangnya ketiga pusaka kerajaan dan ngupadi ketiga pusaka tersebut untuk bisa kembali sebagai usodo kegelapan yang terjadi di Ngamarto (dalam adegan ini bisa di elaborasi/sanggit sindiran-sindiran Semar terhadap para pemimpin, yang hanya inget sama orang kecil kalau butuh saja).

Ki Lurah Noyontoko menyanggupi untuk tugas (sroyo) dari pemimpin dan juga momongannya tadi, serta mempersilahkan tamunya untuk kembali ke Ngamarta menunggu hasil pencariaannya.

Adegan Keenam

Sang Hyang Wenang menerima kehadiran Semar ya Ismoyo. Setelah bage-binagen, Sang Hyang Wenang menyampaikan bahwa beliau sudah tahu maksud dan tujuan Ismoyo menghadapnya. Yakni tentang murco-nya ketiga pusoko Ngamarto dari rumahnya (Curigo ninggal warongko), yang mengakibatkan kegelapan di Negara Ngamarto. Rakyat tidak menurut dengan pemimpinnya, rakyat berantem sama rakyat untuk permadalan yang sepele dan pageblug mayangkoro melanda rakyat Ngamarto.

Sang Hyang Wenang menjelaskan makna dari ketiga pusaka:

  1. Jamus Kalimo Usodo adalah lambang atau simbul manembahing kawulo marang Gustine, yang saat ini sudah bias. Banyak petinggi dan rakyat Ngamarto yang kelihatannya khusuk manembah tapi itu hanya kamuflase belaka untuk tujuan kepentingan tertentu pribadi dan golongannya. Di sini, antara cipto, roso, dan karso-nya tidak nyawiji, demikian pula lathi lan ati ora nyawiji. Mulo pusoko mau ora krasan manggon ono ing Ngamarto, sawetoro cumondok ono ing kene.
  2. Tombak Jolo Korowelang sebagai perlambang seberapa jauh pemimpin nggone ngrekso karaharjaning kawulo yang dipimpinnya. Ono ing Ngamarto poro pemimpine podho rebut bener dhewe anggone podho ngayahi jejibahane pangarso. Poro pemimpin podho padudon antara pemimpin mung soko ngugemi panemune dhewe-dhewe, azas musyawarah mufakat antarane pangarso lan kawulo wis akeh ditingalake. Budhoyo wis ora dienggo lelambarane laku, ilang subhosito lan toto kromo, ugo swasono kaendahane bebrayan. Mulo pusoko Tombak Jolo Korowelang oncat soko papane nyusul Kyai Jamus Kalimosodo.
  3. Songsong Agung Tunggul Nogo kang minongko pralambang pangayomane Hyang Moho Noso wis emoh makarya maneh. Negoro Ngamarto kelangan pangayomane Gusti Kang Murbeng Dumadi, mulo katon peteng dedet lilimengan kadyo dedet irowati. Semar siro minongko pamonge poro Pandowo darbe wenang ngelingake poro momonganmu yo ugo bendaramu supoyo gelem lan tansah taberi Eling marang Gustne lan tansah Waspodo marang pepengeting Gusti kang diparingake marang titahe. Lan ugo ojo lali tansah hangesti paugeran lan wewaler poro leluhur kang Adiluhur. Mulo Ismoyo ing kalungguhan iki ulun titipake marang jeneng kito kaki pusoko tetelune. Jeneng kito enggal lo bali ono Ngamarto selak mesakne marang kawulo Ngamarto ingkang akeh kang nandhang popo lan loro. Dimen enggal sirno pedhut kang lelimengan ing Negoro Ngamarto.

Adegan Ketujuh

Suasana di Ngamarto semua keluarga dan Sri Kresno sedang berkumpul menunggu kehadiran Sang Pamong Agung dalam mengemban tugasnya. Suasana pertemuan terasa tegang dengan perasaan masing-masing. Tidak lama kemudian datanglah Kyai Semar Bodronoyo dengan membawa ketiga pusaka Ngamarto yang murco dari gedung pusoko. Kyai Semar kemudian menjelaskan kepada para momongannya mengapa pusaka-pusaka tadi oncat dari sarangnya meninggalkan rumahnya, seperti yang disampaikan Sang Hyang Wenang.

Dengan kembalinya ketiga pusaka tadi maka pedhut yang menyelimuti Negara Ngastina jadi sirna, para pemimpin dapat menjalankan kepemimpinannya dengan amanah, pageblug (penyakit) sirna serta rakyat bergairah kembali menjalani tata-nilai kehidupannya. Tancep Kayon.

Sambutan Anies Baswedan : 
Tayangan wayang Selengapnya : 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun