Mohon tunggu...
Yunir Tulong
Yunir Tulong Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Teknik Geologi, Universitas Negeri Gorontalo

Menulis Sebagai Terapi, Membaca Sebagai Petualangan, dan Mengekplorasi Kreativitas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Ghosting Yang Mempengaruhi Kondisi Psikologis Pada Gen Z

21 Desember 2024   07:15 Diperbarui: 21 Desember 2024   06:07 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Disusun Oleh Fadillah S Mamonto, Safa Ahzara Damogalad, Irvan Usman

Ghosting merupakan fenomena sosial di mana seseorang secara tiba-tiba menghentikan komunikasi tanpa penjelasan apapun. Meskipun fenomena ini telah ada sejak lama, dengan munculnya media sosial dan aplikasi kencan daring, ghosting kini semakin banyak terjadi, terutama di kalangan generasi Z (Gen Z). Generasi ini, yang dikenal sangat terhubung dengan teknologi, cenderung mengandalkan platform digital untuk membangun dan memelihara hubungan sosial. Akibatnya, mereka sangat rentan terhadap dampak negatif dari fenomena seperti ghosting.

Artikel ini akan membahas bagaimana fenomena ghosting mempengaruhi kondisi psikologis Gen Z, dengan menyoroti perasaan cemas, terabaikan, dan rendahnya rasa percaya diri yang sering muncul setelah seseorang mengalami ghosting. Selain itu, artikel ini akan mengeksplorasi faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya ghosting, serta dampak jangka panjangnya terhadap kesejahteraan mental individu.

Sebelum membahas dampak psikologis dari ghosting, penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan ghosting dan bagaimana fenomena ini berkembang dalam konteks digital. Menurut penelitian oleh Smith dan Taylor (2021), ghosting adalah bentuk penutupan komunikasi yang secara tiba-tiba dan tanpa alasan yang jelas, sehingga korban merasa kebingungannya tidak dapat dijelaskan. Fenomena ini sering terjadi dalam hubungan personal atau hubungan romantis yang terjadi di platform media sosial atau aplikasi kencan.

Penelitian oleh Brown dan Green (2020) menunjukkan bahwa generasi muda, khususnya Gen Z, sangat terpengaruh oleh ketidakpastian dalam komunikasi digital. Media sosial dan aplikasi pesan instan membuat mereka mudah berinteraksi, namun juga rentan terhadap terjadinya ghosting. Dampaknya, menurut Wang dan Lee (2019), dapat berupa kecemasan sosial, perasaan tidak dihargai, hingga penurunan rasa percaya diri.

Ghosting adalah fenomena sosial yang merujuk pada tindakan seseorang yang secara tiba-tiba menghentikan komunikasi tanpa penjelasan, yang sering kali meninggalkan korban dalam keadaan bingung dan terluka. Penelitian oleh Smith dan Taylor (2021) mengidentifikasi ghosting sebagai bentuk penutupan komunikasi yang tidak jelas, sementara Brown dan Green (2020) menyoroti bahwa generasi muda, khususnya Gen Z, sangat terpengaruh oleh ketidakpastian dalam komunikasi digital. Penggunaan media sosial dan aplikasi pesan instan memudahkan interaksi, tetapi juga meningkatkan risiko terjadinya ghosting, yang dapat menyebabkan dampak psikologis seperti kecemasan sosial, perasaan tidak dihargai, dan penurunan rasa percaya diri (Wang dan Lee, 2019). Dengan demikian, fenomena ghosting menciptakan tantangan serius bagi kesehatan mental individu, terutama di kalangan generasi yang sangat terhubung secara digital.

1. Dampak Psikologis Ghosting pada Gen Z
Ghosting dapat memberikan dampak psikologis yang sangat besar, terutama bagi Gen Z yang sangat bergantung pada komunikasi digital. Ketika seseorang menjadi korban ghosting, mereka sering kali merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Ketidakjelasan ini memicu perasaan cemas dan sering kali membuat mereka mempertanyakan nilai diri mereka. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Salahkah saya? Apakah saya cukup baik?

Penurunan rasa percaya diri menjadi dampak yang paling sering dirasakan oleh seseorang yang menjadi korba ghosting.Rasa tidak dihargai dan merasa terabaikan oleh seseorang yang sebelumnya dekat dengan mereka menyebabkan perasaan rendah diri. seseorang yang mengalami ghosting merasa bahwa mereka meragukan diri mereka sendiri dan merasa bahwa mereka tidak layak mendapat hubungan yang lebih baik.

Selain itu, kecemasan sosial sering muncul setelah seseorang mengalami ghosting. Mereka menjadi lebih takut untuk membuka diri kepada orang lain atau membangun hubungan baru karena takut akan mengalami hal yang sama. Proses ini menciptakan siklus kecemasan yang terus berulang. Seperti yang dijelaskan oleh Evans (2018), kecemasan yang ditimbulkan oleh ghosting tidak hanya sebatas perasaan takut ditinggalkan, tetapi juga mencakup ketidakmampuan untuk memahami apa yang salah dalam hubungan tersebut.

2. Faktor-faktor yang Memperburuk Fenomena Ghosting
Beberapa faktor sosial dan psikologis memperburuk fenomena ghosting, terutama di kalangan Gen Z. Salah satu faktor utama adalah ketergantungan mereka pada media sosial untuk membangun dan mempertahankan hubungan. Berbeda dengan generasi sebelumnya, di mana interaksi lebih sering dilakukan secara tatap muka atau melalui telepon, Gen Z lebih sering berkomunikasi melalui pesan teks atau aplikasi media sosial. Hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap ghosting, karena tidak ada kejelasan langsung dalam komunikasi.

Selain itu, aplikasi kencan yang semakin populer di kalangan Gen Z juga berperan dalam meningkatnya fenomena ghosting. Dalam aplikasi kencan, individu sering kali memiliki harapan yang tinggi terhadap hubungan yang baru dibangun. Ketika hubungan tersebut tidak sesuai dengan harapan atau terjadi kesalahan komunikasi, banyak orang yang memilih untuk menghilang dan menghindari konfrontasi langsung, yang memperburuk perasaan korban ghosting.

Fenomena ini juga diperburuk dengan adanya budaya instant gratification (kepuasan instan) yang sering kali ada di dunia digital. Dalam hubungan yang terjadi secara online, banyak orang mengharapkan segala sesuatunya terjadi dengan cepat. Ketika komunikasi terputus tanpa penjelasan, rasa kecewa dan cemas menjadi lebih intens. Tanpa adanya closure atau penyelesaian, individu yang mengalami ghosting sering kali merasa kesulitan untuk melanjutkan hidup mereka dan memproses perasaan yang muncul.

3. Mekanisme Psikologis dalam Ghosting
Ghosting menimbulkan ketidakpastian yang besar bagi korban, dan ketidakpastian ini sangat memengaruhi psikologi mereka. Salah satu reaksi psikologis yang muncul adalah stres emosional. Ketika seseorang dihantam dengan ketidakjelasan dalam hubungan, pikiran mereka akan dipenuhi dengan berbagai spekulasi tentang apa yang salah. Hal ini menyebabkan stres yang terus-menerus, karena mereka tidak dapat mencari penutupan atau kejelasan.

Selain stres, ghosting dapat memicu perasaan frustasi yang berkelanjutan. Sebagaimana dijelaskan dalam penelitian oleh Wang dan Lee (2019), individu yang mengalami ghosting sering kali merasa seperti korban dari ketidakadilan emosional. Mereka merasa bahwa mereka telah memberi banyak dalam hubungan tersebut, namun tidak mendapatkan apapun sebagai balasannya. Perasaan ini dapat mempengaruhi persepsi mereka terhadap hubungan sosial di masa depan, membuat mereka lebih berhati-hati dan cemas dalam membangun hubungan baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun