Mohon tunggu...
Rico Nainggolan
Rico Nainggolan Mohon Tunggu... Wiraswasta - quote

hiduplah layaknya bagaimana manusia hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membebaskan Pantai Bebas Melalui CLs?

10 Agustus 2021   16:46 Diperbarui: 10 Agustus 2021   17:49 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Lahk, apa yang salah dengan Pantai Bebas Parapat? Bukannya sedang dibangun untuk kemajuan pariwisata? Apakah masyarakat menolak pembangunan pariwisata? Apakah ada pihak yang dirugikan? Ok, kita kupas tuntas dalam tulisan ini. Sekali lagi, tulisan ini hanya sebagai ungkapan keadaan dan fakta tentang Pantai Bebas Parapat dan sebagai pengingat sejarah bahwa sebelumnya di Pantai Bebas Parapat ada sebuah peradaban kehidupan manusia.

Sebelum tahun 1989, sekitar 54 keluarga menempati Pantai Bebas Parapat dengan nama Huta Sosor Pasir yang secara administrasi berada di Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Pada saat kepemimpinan Bupati Kabupaten Simalungun Bapak JP.Silitonga, mengeluarkan Perda Nomor 7 Tahun 1989 Tentang PENETAPAN SOSOR PASIR SEBAGAI PANTAI BEBAS DI KOTA PARAPAT, yang dikelurkan pada tanggal 23 September 1989. 

Yang mengharuskan warga Sosor Pasir meninggalkan dan menerima "relokasi" sengaja relokasi diberi tanda kutip, karena memang berdasarkan penuturan para keluarga dan pelaku sejarah, relokasi tersebut dilakukan dengan unsur-unsur pemaksaan yang dengan berat hati, warga harus meninggalkan Sosor Pasir tersebut. Dengan alasan pembanguna pariwisata, pemerintah membangun dan merelokasi sosor pasir.  

Bagi mereka yang mengetahui dan menjadi pelaku sejarah proses relokasi huta sosor pasir akan sangat merasakan dampak dari relokasi tersebut. Bahwa pada dasarnya pembangunan pantai bebas parapat adalah untuk membebaskan pandangan kearah danau toba sebagaimana dengan yang diamanatkan didalam perda tersebut, akan tetapi pada hari ini, sudah banyak bangunan yang berdiri yang jelas-jelas mengahalangi pemandangan langsung kearah danau toba baik bangunan milik pribadi dan milik pemerintah. 

Dan yang paling memprihatinkan adalah adanya transaksi jual-beli tanah Negara oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab yang sangat merugikan Negara dan masyarakat umum.

Lantas, bagaimana mengembalikan keadaan pantai bebas sebagaimana amanat Perda Kabupaten Simalungun Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Penetapan Sosor Pasir Sebagai Pantai Bebas Dikota Wisata Parapat

Salah satu cara yang dapat di tempuh adalah melalui jalur hukum, yaitu melalui Citizen Lawsuit.  Citizen Lawsuit (CLs) merupakan mekanisme pengajuan gugatan yang dilakukan oleh warga negara, baik yang diajukan secara perorangan maupun kelompok, untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah sebagai penyelenggara negara. 

CLs pertama kali berkembang di Amerika, negara yang bercirikan sistem hukum common law. CLs muncul karena pemerintah telah melakukan pembiaran atau kesalahan sehingga hak-hak warga negara tidak terpenuhi. Akibat kesalahannya negara dihukum untuk melakukan tindakan tertentu atau mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat umum.

Di Indonesia gugatan dengan mekanisme CLs bukan merupakan suatu hal yang baru karena sudah banyak perkara yang menggunakan metode ini. Salah satu yang paling fenomenal adalah gugatan CLs yang diajukan oleh Munir Cs. terkait dengan penelentaran Pemerintah cq. Presiden Megawati terhadap TKI yang dideportasi di Nunukan, Kalimantan Utara. 

Gugatan CLs tersebut dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat namun pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menyatakan bahwa karena Tergugat (Negara/Pemerintah Indonesia) tidak terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum, maka gugatan Para Penggugat (Munir Cs.) harus ditolak untuk seluruhnya. 

Meskipun gugatan CLs Munir Cs. ditolak pada tingkat banding namun ternyata gugatan CLs tersebut berdampak positif dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja.

Pengajuan gugatan melalui mekanisme Citizen Lawsuit telah direspon positif dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Hal ini dapat dicermati dari contoh kasus yang penulis telah paparkan di atas sehingga Indonesia telah mengakui adanya mekanisme gugatan Citizen Lawsuit.

Dasar hukum 

Mekanisme pengajuan gugatan Citizen Lawsuit secara spesifik belum diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa pengadilan cq. majelis hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 

Meski tidak diatur M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata Edisi Kedua, menegaskan bahwa ada lima syarat formil yang harus dipenuhi dalam mengajukan gugatan Citizen Lawsuit menurut ketentuan hukum acara perdata yang diadopsi dari sistem hukum Anglo Saxon.

Pertama, menyampaikan Notifikasi kepada penyelenggara Negara. Notifikasi atau yang dikenal sebagai somasi berbentuk pernyataan singkat dibuat secara tertulis yang isinya agar penyelenggara Negara memperbaiki, menghentikan pembiaran atau kelalaian atas kebijaksanaan yang menimbulkan kerugian kepada warga negara dalam batas waktu 60 (enam puluh) hari sejak notifikasi diterima. 

Apabila dalam batas waktu tersebut tidak dipenuhi oleh pejabat/penyelenggara Negara bersangkutan, terhadapnya akan diajukan Gugatan Citizen Lawsuit ke Pengadilan. Tujuan notifikasi untuk memberikan kesempatan yang adil kepada pejabat/penyelenggara Negara yang melakukan pembiaran untuk mengajukan bantahan atau melakukan perbaikan atau menghentikan pembiaran perbuatan melawan hukum yang dilakukannya.

Kedua, dalil gugatan Citizen Lawsuit hanya dapat diajukan dengan dalil perbuatan melawan hukum (PMH) dengan alasan karena lalai memenuhi hak-hak warga negara dalam menjalankan kebijakan umum yang menimbulkan kerugian dalam bentuk menyengsarakan kesejahteraan umum secara luas. Dengan demikian, diluar PMH seperti wanprestasi tidak dibenarkan dalam CLs.

Ketiga, yang memiliki kapasitas (Legal Persona Standi in Judicio) bertindak sebagai Penggugat adalah Perorangan atau Kelompok yang memiliki Status Warga Negara untuk dan atas nama kepentingan warga Negara atau untuk kepentingan umum.

Keempat, petitum gugatan yang dapat diminta dan dituntut hanya sebatas: "menghukum negara/pemerintah/penyelenggara Negara yang bersangkutan mengeluarkan kebijakan yang bersifat umum atau regeling atau regulation demi menghindari terjadi dan berlanjutnya hal yang merugikan dan menyengsarakan warga negara.

Kelima, pihak yang dapat digugat atau yang memiliki persyaratan sebagai pihak Tergugat dalam gugatan CLs hanya sebatas penyelenggara Negara, meliputi: Presiden, Wakil Presiden; Kementerian/Menteri sampai pejabat negara di bidang yang dianggap melakukan kelalaian dan pembiaran memenuhi kepentingan warga negara; BUMN dan BUMD. Selain para pihak tersebut, tidak dapat ditarik sebagai Tergugat karena tidak memiliki persyaratan sebagai Tergugat (disqualify in person).

Bahwa pada dasarnya, pembangunan itu harus mengedepankan kesejahteraan masyarakat dan tidak menghilangkan sebuah sejarah peradaban suatu bangsa. Sudah sepantasnya dan sebaikinya, Pantai Bebas Parapat dikembalikan sebagaimana peruntukannya sejak awal diterbitkan Perda tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun