Mohon tunggu...
Nisa Nurazizah
Nisa Nurazizah Mohon Tunggu... Lainnya - Bachelor of Communication

Journalism Graduate

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gebrakan Media non-Amerika Serikat dalam Melawan Dominasi Hollywood

11 Januari 2025   21:01 Diperbarui: 11 Januari 2025   22:27 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hollywood sign di Los Angeles (Sumber: Pixabay/sohrob)

Apa yang terlintas dibenakmu ketika mendengar kata "Hollywood"? 

Apakah itu kiblat perfilman dunia? produsen film box office? atau pusat industri hiburan global?

Saya yakin masih banyak pandangan positif lainnya mengenai Hollywood, terutama di mata para pencinta film dan sinema, atau yang juga sering disebut dengan Cinephile.

Namun, benarkah Hollywood dan industri media Amerika Serikat sebesar itu? Apakah Amerika Serikat benar-benar sepenuhnya menguasai pasar global?

Perlu kita akui bahwa saat ini Hollywood masih menjadi industri perfilman terbesar dengan pendapatan terbesar pula di dunia. Mulai dari kualitas alur cerita, kualitas akting para aktor, hingga kualitas rumah produksi dengan teknologi super canggih, membuat film-filmnya hampir selalu menjadi box office, laris manis ditonton masyarakat global.

Meskipun saat ini film produksi asal Korea Selatan, China, dan India memang sudah berhasil mengambil hati penonton global, tapi tak bisa dipungkiri, Hollywood masih menjadi pemain utama dalam industri perfilman global.

Namun, ada yang menarik di balik kehebatan media Amerika Serikat (AS) dalam menguasai pasar global. Meskipun Hollywood berhasil membangun pengaruh yang besar, bahkan disebut-sebut sebagai ikon budaya pop global, tetapi anggapan bahwa Amerika Serikat sepenuhnya mendominasi pasar global dapat dianggap berlebihan lho..

Nyatanya, sejak dulu, Amerika Serikat memang tidak sepenuhnya menguasai pasar global. Hanya saja, perkembangan beberapa tahun terakhir membuat kenyataan ini semakin terlihat dan dirasakan oleh banyak orang. Mulai dari Industri film non-Amerika Serikat yang mulai menunjukkan taringnya, ditambah dengan hadirnya platform digital dan layanan streaming yang memberikan peluang lebih besar bagi industri media di seluruh dunia untuk bersaing melawan dominasi media AS.

Adapun fakta bahwa Amerika Serikat tidak sepenuhnya menguasai pasar global akan penulis bahas dalam artikel ini. Fakta ini penulis dapatkan setelah membaca buku Global Communication Theories, Stakeholders, and Trends (2006) karya Thomas L. McPhail. Dalam buku tersebut diungkapkan bahwa banyak perusahaan media dari luar Amerika Serikat yang ternyata turut berperan dalam kesuksesan rumah produksi atau studio film ternama di Amerika Serikat.

Kilas Balik Dominasi Media Amerika Serikat

Sekitar tahun 1960 hingga 1970-an, banyak kritik bermunculan terhadap industri media Amerika Serikat (AS) yang mendominasi sistem komunikasi (media) internasional (McPhile, 2006, h. 95). Hal ini menyebabkan sistem atau aliran media di pasar komunikasi global tidak seimbang dan sulit bagi industri media non-Amerika Serikat untuk masuk dan terlibat aktif.

Ada juga kritik lainnya mengenai imperialisme budaya Hollywood oleh dominasi media AS di pasar global. Rauschenberger (2003) mengungkapkan, secara umum imperialisme budaya merujuk pada penyebaran produk dan budaya konsumen Amerika Serikat ke seluruh dunia, yang menyebabkan terkikisnya budaya lokal. Karenaya, kehadiran budaya AS (Barat) yang berkembang di negara non-AS ini menimbulkan kegelisahan dan kekhawatiran di berbagai kalangan.

Adapun pada dasarnya, kedua kritik di atas adalah realitas yang saling berhubungan. Ketika media Amerika Serikat mendominasi secara global dan membuat media di negara non-AS sulit berkembang, maka akan berpengaruh pada minimnya profit sehingga fasilitas produksi dan produk (konten) media non-AS yang dihasilkan juga tidak maksimal. Hal ini membuat industri media di negara non-AS sulit bersaing terutama dari segi produksi konten.  Karenanya, banyak warga negara non-AS yang lebih tertarik mengonsumsi konten media AS (Hollywood) untuk mencari hiburan.

Ilustrasi produksi film Hollywood (Sumber: Pixabay/dmncwndrlch )
Ilustrasi produksi film Hollywood (Sumber: Pixabay/dmncwndrlch )

Dengan cepat Hollywood berhasil menjadi ikon dari bisnis perfilman Amerika Serikat. Hollywood berhasil mencetak film-film terbaik, terpopuler, dan terlaris di dunia. Ini menjadikan Hollywood sebagai bisnis perfilman terbesar di dunia. Sebagaimana yang diungkapkan Tobby Miller dan Richard Maxwell (2006) bahwa produk media AS (Hollywood) berhasil mendominasi perputaran film secara global. Sekitar 40-90% produk film Hollywood mendominasi box office di seluruh dunia.

Sementara itu, ketertarikan masyarakat non-Amerika Serikat terhadap konten Hollywood menyebabkan berkurangnya tingkat konsumsi konten media lokal. Dimana hal ini, secara tidak langsung turut berdampak pada pendapatan ekonomi di negara non-AS.

Selain itu, nilai dan budaya dalam tayangan Hollywood yang umumnya bertolak belakang dengan budaya negara-negara Timur memungkinkan terjadinya perubahan pola pikir, perilaku, tatanan hidup masyarakat, serta tergesernya nilai budaya lokal di negara non-AS. Misalnya, budaya seks, pergaulan bebas, kekerasan, penggunaan senjata api secara bebas, minuman keras, dan narkoba.

Dengan demikian, dominasi media Amerika Serikat ini telah menimbulkan kerugian dan kegelisahan, terutama bagi masyarakat non-AS. Mulai dari persaingan global yang tidak sehat, industri media yang sulit berkembang, budaya lokal yang terkikis oleh budaya Barat, hingga berpengaruh pada minimnya pertumbuhan ekonomi, dan berbagai aspek kehidupan masyarakat non-AS lainnya.

Dimana pada saat itu, media AS dianggap sebagai satu-satunya penguasa media global, stakeholder, atau pemegang kekuasaan tertinggi di pasar media global. Sebut saja CNN, MTV, BBC, Disney, atau News Corporation. Hal ini lantaran media di Amerika Serikat cenderung memusatkan kendali dalam satu perusahaan besar (Bagdikian, 1992). Beragam sektor seperti label musik, CD, film, majalah, televisi, surat kabar, buku, dan media massa lainnya berkonsolidasi di bawah pengawasan ketat segelintir perusahaan.

Perlawanan Media non-AS Terhadap Dominasi Media AS

Ilustrasi perempuan sedang membaca majalah Elle  (Sumber: Pixabay/freestocks-photos )
Ilustrasi perempuan sedang membaca majalah Elle  (Sumber: Pixabay/freestocks-photos )

Maka dari itu, untuk melawan dominasi dan dampak negatif dari produk media AS di pasar global, para perusahaan media lokal di negara non-AS saling berkonsolidasi untuk membangun konglomerasi (McPhile, 2006, h. 95-114).

Konglomerasi merupakan bentuk dari konvergensi media yang berperan penting dalam pengembangan perusahaan. Pemilik modal kecil dapat diakuisisi oleh media yang lebih besar sehingga konglemerasi media ini membuat kedua media tersebut dapat bergabung menjadi media raksasa (Umi Khumairoh: 2021, h.63-78).

Dalam hal ini, konglomerasi media yang dilakukan antar media lokal di negara non-AS adalah bentuk upaya perlawanan terhadap dominasi media AS di pasar komunikasi global. Media di negara non-AS berkonglomerasi untuk membangun satu perusahaan yang lebih besar, agar mampu berkembang dan bersaing di tengah ketatnya persaingan media global pada saat itu. 

Selain itu, dengan konglomerasi, fasilitas dan infrastruktur untuk mendukung jalannya bisnis media dapat semakin baik, sehingga memengaruhi produk konten yang berkualitas, bersifat multimedia, dan dapat terpublikasi di berbagai platform media. Dengan kata lain, penguasaan teknologi menjadi salah satu faktor kunci dalam menjaga eksistensi industri media. Kondisi ini lah yang mendorong para pemilik media untuk membangun konglomerasi guna menguasai pasar yang lebih luas sekaligus mengakses sumber daya teknologi yang lebih canggih.

Terlebih lagi, kebutuhan masyarakat dalam memperoleh informasi tak akan pernah berakhir. Hal ini semakin menjadikan industri media sebagai salah satu bisnis yang menjanjikan. Karenanya, tidak heran bila perusahaan media berlomba-lomba mengembangkan usaha medianya, salah satunya dengan konglomerasi.

Nah, dengan strategi konglomerasi ini, kekuatan media Amerika Serikat yang sebelumnya tak tertandingi, bahkan dianggap mustahil untuk dikalahkan, berhasil ditaklukkan oleh media non-AS. Upaya konglomerasi ini mampu membuat industri media dari negara non-AS masuk dan terlibat aktif di pasar global, bahkan sejajar dengan media AS (McPhile, 2006, h. 95- 116). Seperti, Bertelsmann dari Jerman yang memiliki saham di 600 perusahaan di lebih dari 50 negara, termasuk BMG Music, Random House, dan Barnes & Noble. Lalu, Matra Hachette dari Prancis yang menerbitkan Elle, Car and Driver, dan beberapa majalah ternama lainnya. Ada juga VNU dari Belanda, yang merupakan pemilik perusahaan Nielsen.

Bahkan, tidak sedikit media non-Amerika Serikat yang telah kuat secara ekonomi, kemudian membeli saham dan melakukan akuisisi atau merger dengan media milik AS. Misalnya, Sony Corporation Jepang yang membayar $5 miliar untuk mengakuisisi Columbia Pictures pada 1988.

Dengan demikian, industri media di pasar global tidak sepenuhnya dikuasai oleh Amerika Serikat, melainkan terdapat kepemilikan asing di dalamnya. Oleh karena itu, anggapan bahwa seluruh stakeholder media global berada di bawah kendali AS tidaklah benar. Faktanya, sejak lama, banyak media global asal Amerika Serikat yang tidak berdiri sendiri, mereka berkonglomerasi dengan perusahaan media non-Amerika Serikat yang juga berhasil menembus pasar global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun