Dalam hal ini, konglomerasi media yang dilakukan antar media lokal di negara non-AS adalah bentuk upaya perlawanan terhadap dominasi media AS di pasar komunikasi global. Media di negara non-AS berkonglomerasi untuk membangun satu perusahaan yang lebih besar, agar mampu berkembang dan bersaing di tengah ketatnya persaingan media global pada saat itu.Â
Selain itu, dengan konglomerasi, fasilitas dan infrastruktur untuk mendukung jalannya bisnis media dapat semakin baik, sehingga memengaruhi produk konten yang berkualitas, bersifat multimedia, dan dapat terpublikasi di berbagai platform media. Dengan kata lain, penguasaan teknologi menjadi salah satu faktor kunci dalam menjaga eksistensi industri media. Kondisi ini lah yang mendorong para pemilik media untuk membangun konglomerasi guna menguasai pasar yang lebih luas sekaligus mengakses sumber daya teknologi yang lebih canggih.
Terlebih lagi, kebutuhan masyarakat dalam memperoleh informasi tak akan pernah berakhir. Hal ini semakin menjadikan industri media sebagai salah satu bisnis yang menjanjikan. Karenanya, tidak heran bila perusahaan media berlomba-lomba mengembangkan usaha medianya, salah satunya dengan konglomerasi.
Nah, dengan strategi konglomerasi ini, kekuatan media Amerika Serikat yang sebelumnya tak tertandingi, bahkan dianggap mustahil untuk dikalahkan, berhasil ditaklukkan oleh media non-AS. Upaya konglomerasi ini mampu membuat industri media dari negara non-AS masuk dan terlibat aktif di pasar global, bahkan sejajar dengan media AS (McPhile, 2006, h. 95- 116). Seperti, Bertelsmann dari Jerman yang memiliki saham di 600 perusahaan di lebih dari 50 negara, termasuk BMG Music, Random House, dan Barnes & Noble. Lalu, Matra Hachette dari Prancis yang menerbitkan Elle, Car and Driver, dan beberapa majalah ternama lainnya. Ada juga VNU dari Belanda, yang merupakan pemilik perusahaan Nielsen.
Bahkan, tidak sedikit media non-Amerika Serikat yang telah kuat secara ekonomi, kemudian membeli saham dan melakukan akuisisi atau merger dengan media milik AS. Misalnya, Sony Corporation Jepang yang membayar $5 miliar untuk mengakuisisi Columbia Pictures pada 1988.
Dengan demikian, industri media di pasar global tidak sepenuhnya dikuasai oleh Amerika Serikat, melainkan terdapat kepemilikan asing di dalamnya. Oleh karena itu, anggapan bahwa seluruh stakeholder media global berada di bawah kendali AS tidaklah benar. Faktanya, sejak lama, banyak media global asal Amerika Serikat yang tidak berdiri sendiri, mereka berkonglomerasi dengan perusahaan media non-Amerika Serikat yang juga berhasil menembus pasar global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H