Mohon tunggu...
Nisa Nurazizah
Nisa Nurazizah Mohon Tunggu... Lainnya - -

sedang belajar menulis✨

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kupas Isu "The End of Mass Communication?"

31 Maret 2024   07:18 Diperbarui: 3 Januari 2025   16:28 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang penasaran (Sumber: freepik.com/freepik)

Pernahkah kamu mendengar tentang the end of mass communication? atau isu bahwa komunikasi massa telah berakhir?

Kalau belum, coba deh kamu renungkan, apakah saat ini kamu masih mencari informasi melalui media massa? 

Untuk kamu yang Gen Z, apakah televisi, radio, dan koran masih menjadi media utama untuk kalian mencari informasi dan hiburan? 

Sadar gak sih, ada fenomena unik yang terjadi saat ini. Kita kerap menonton program siaran televisi seperti pertandingan sepak bola atau siaran debat para calon presiden, bukan lagi melalui televisi, tetapi melalui aplikasi layanan streaming yang bisa diakses menggunakan teknologi mobilseperti handphone, laptop, atau tablet. 

Lalu, saat ini, banyak orang berbondong-bondoong membeli televisi dengan ukuran besar dan fitur yang canggih, nyatanya bukanlah untuk menonton program televisi lho, tetapi untuk berselancar menonton Youtube hingga Netflix. Benar atau betul?

Jadi, apa benar konsep komunikasi massa telah berakhir dan tidak lagi relevan di era digital saat ini? 

Mari kita bahas di sini...

Sebenarnya, apa sih yang dimaksud The End of Mass Communication

Jadi guys, ada sebuah pembahasan yang cukup kontroversial di kalangan para pakar komunikasi mengenai nasib teori komunikasi massa setelah lahirnya new media. Adapun pembahasan tersebut lebih dikenal dengan kajian The end of Mass Communication?

Pada kajian tersebut, beberapa pakar komunikasi mengkritik bahwa 'komunikasi massa' tidak lagi menjadi teori atau konsep yang akurat dan komprehensif karena kurang mencakup area new media yang terjadi saat ini (Steven Chaffee H dan Metzger J: 2001).

Pembahasan The end of mass communication? ini mulai diangkat setelah new media hadir dan berhasil membawa perubahan besar di kehidupan saat ini. Kehadiran new media ini melahirkan argumen, kritik, dan pertanyaan terkait apakah konsep 'komunikasi massa' akan berakhir dan memasuki "masa pensiun".

Jadi intinya, kajian The end of mass communication? ini berisi pembahasan mengenai konsep komunikasi massa yang belum mampu mencapai spekturm yang lebih luas, yaitu komunikasi new media. Dan apa perlu dilakukan peralihan dari istilah 'komunikasi massa' menjadi istilah 'komunikasi media' atau 'komunikasi bermedia'.

Ilustrasi era new media (Sumber: freepik.com/storyset)
Ilustrasi era new media (Sumber: freepik.com/storyset)

New Media

New media erat kaitannya dengan perangkat media berjaringan internet atau media berbasis teknologi daring. Menurut Flew (2008), new media atau media baru adalah media yang format kontennya berbentuk multimedia, yaitu berupa gabungan data, teks, suara, gambar, yang disimpan dalam format digital dan disebarluaskan melalui jaringan berbasis kabel optic broadband, satelit, dan sistem gelombang mikro. 

Bila komunikasi massa (mass communication) identik dengan media televisi, maka video games dan website dianggap sebagai ikon yang dapat mewakili komunikasi new media (Chaffee and Metzger, 2001: 371- 373). 

Sebagaimana kita ketahui sejak dulu, ciri-ciri dari komunikasi massa di antaranya:

  • Produksi konten bersifat massal
  • Komunikasi bersifat satu arah
  • Kurangnya kontrol pengguna
  • Sifat audiensnya bersatu/ terpadu mengonsumsi konten yang sama
  • Jumlah saluran media yang terbatas sehingga mudah diidentifikasi, dll.

Namun, hadirnya new media membuat dasar- dasar komunikasi massa di atas tidak lagi sama seperti dulu. New media sebagai media baru kontemporer memungkinkan:

  • Pengiriman dan pengambilan informasi dalam jumlah yang lebih besar
  • Komunikasi menjadi interaktif (dua arah)
  • Menempatkan kontrol lebih besar atas pembuatan dan pemilihan konten di tangan penggunanya
  • Memungkinkan pengguna untuk menjadi produsen konten
  • Sifat audiensnya tersebar sehingga sulit diidentifikasi dan dimonitor
  • Tersedianya berbagai macam saluran dan konten yang sangat tidak terbatas, dll.

Dengan demikian, hadirnya new media membuat kajian komunikasi massa menjadi semakin kompleks. Penelitian atau studi tentang khalayak media, konten media dan efek media menjadi lebih sulit karena luasnya media komunikasi dan penyebaran khalayak media.

Contoh perubahan kajian Komunikasi Massa setelah hadirnya New Media

Ilustrasi orang menonton televisi (Sumber: freepik.com/freepik)
Ilustrasi orang menonton televisi (Sumber: freepik.com/freepik)

Salah satu contoh perubahan yang terjadi pada kajian komunikasi massa dapat dilihat dari segi teori kultivasi. Sebagaimana kita ketahui, teori kultivasi (cultivation theory) mengasumsi bahwa audiens menggunakan media tertentu secara kontinyu untuk mengakses informasi. Dalam teori ini, audiens yang dimaksud adalah penonton televisi yang secara pasif menerima pesan atau konten media.

Jika dilihat dari situasi sekarang, maka akan muncul pertanyaan, apakah saat ini orang masih senantiasa menonton televisi secara pasif dan kontinyu, sebagaimana yang dilakukan orang-orang di masa awal kemunculan teori ini?

Hadirnya internet telah mengubah televisi dari yang hanya beberapa jaringan nasional menjadi sistem dengan ratusan cable channels dan beragam konten. Selain itu, hadirnya internet juga mengubah cara masyarakat dalam mengonsumsi informasi dan hiburan. Maka, menurut beberapa ahli, keragaman saluran dan konten yang tidak terbatas, serta kontrol pengguna yang diberikan oleh teknologi new media menjadi akhir dari teori kultivasi ini (Chaffee and Metzger, 2001 dalam Bryant, 1986).

Contoh Kasus Teori Kultivasi di Indonesia

Penulis akan membahas contoh kasus di Indonesia yang terkait dengan teori kultivasi. Dalam hal ini, terdapat dua kasus pembunuhan, yang keduanya sama-sama terjadi akibat terpaan tayangan media. Namun perbedaannya, terletak di usia pelaku dan jenis media yang digunakan. 

Kasus 1: Seorang istri melakukan pembunuhan terhadap suami dan anak tirinya, serta mengaku bahwa rencana pembunuhan yang ia lakukan terinspirasi dari cerita sinetron (BBC News)

Kasus 2: Seorang remaja berusia 15 tahun membunuh tetangganya yang berusia lima tahun dan mengaku terinspirasi dari film berbau pembunuhan di Youtube (Inews.id)

Kasus 1

Kasus pertama diambil berdasarkan berita online BBC News Indonesia, yang berjudul "Kasus pembunuhan suami dan anak: Bisakah sinetron mendorong tindak kejahatan keji?", yang ditulis oleh Rivan Dwiastono pada 5 September 2019. Kasus ini mengangkat tentang seorang istri yang melakukan pembunuhan terhadap suami dan anak tirinya, serta mengaku bahwa rencana pembunuhan yang ia lakukan terinspirasi dari cerita sinetron.

Dalam teori kultivasi, media massa khususnya televisi dianggap berpengaruh besar atas kecenderungan perilaku khalayaknya. Pengaruh tersebut tidak muncul secepat kilat melainkan membutuhkan waktu dan bersifat kumulatif. Selain itu, perubahan perilaku dapat terjadi jika intensitas dan frekuensi terpaan tayangannya tinggi. Teori ini juga berpendapat bahwa khalayak televisi merupakan individu-individu yang secara pasif menerima informasi dan tidak berinteraksi satu sama lain.

Namun, di era new media saat ini, internet telah mendominasi kehidupan manusia. Perangkat teknologi semakin canggih, media sosial menjadi teman akrab banyak orang, saluran dan konten media semakin beragam dan mudah diakses, dan masih banyak lagi. 

Hal ini menggeser keberadaan televisi sebagai media utama masyarakat dalam mengakses informasi dan hiburan. Masyarakat mulai beralih ke perangkat mobile lantaran bisa diakses kapanpun dan dimanapun. 

Kasus 2

Kemudian kasus kedua diambil berdasarkan berita online Inews.id berjudul "Remaja Bunuh Anak 5 Tahun di Sawah Besar karena Terinspirasi Film" yang ditulis oleh Okto Rizki Alpino pada 6 Maret 2020. Berita ini sempat viral menggemparkan publik dan menjadi bahan perbincangan hangat dalam waktu yang cukup lama. Berita ini mengungkap kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang remaja berusia 15 tahun terhadap tetangganya yang berusia lima tahun dan mengaku terinspirasi dari film berbau pembunuhan di Youtube.

Dari kasus berita di atas, bisa kita ketahui bahwa di era yang semakin canggih ini, memungkinkan anak di bawah umur dapat dengan mudah mengakses perangkat seluler dan media sosial. Maka, bukan hanya mendampingi anak menonton televisi, kini ada tugas baru bagi para orang tua untuk mengawasi anak-anaknya dalam bermedia digital. 

Saat ini, masyarakat menghabiskan sebagian besar waktu per harinya untuk mengakses informasi melalui perangkat seluler dibandingkan dengan menonton televisi. Dengan kata lain, intensitas terpaan new media jauh lebih besar dibanding terpaan tayangan televisi.

Dengan demikian, new media membuat kajian efek media menjadi semakin kompleks karena hadirnya beragam saluran dan konten media yang sangat tidak terbatas jumlahnya. Hadirnya new media ini membuat eksistensi teori kultivasi dipertanyakan. Jika kasus pertama bisa dikaji dengan teori kultivasi, yaitu kasus pembunuhan karena terpaan tayangan sinetron di televisi, lalu bagaimana dengan kasus kedua? yaitu pembunuhan yang terinspirasi dari film di internet.

Berdasarkan data di atas, bisa disimpulkan bahwa penggunaan media massa televisi sudah tidak se-masif dulu. Saat ini, khalayak telah beralih dari media televisi menuju media digital. Lebih lanjut, di samping teori-teori tentang penerimaan khalayak, perlu juga perluasan dengan menambah teori baru yang berkaitan dengan pendekatan penggunaan dan kepuasan terhadap media baru, motivasi khalayak dalam menggunakan media, dan lain sebagainya. Hal tersebut dikarenakan, sudah tidak relevan jika masih menganggap khalayak menerima informasi secara pasif. Era new media telah membuat khalayak lebih aktif, baik secara instrumental maupun ritual, dalam memilih dan memproduksi konten untuk diri mereka sendiri (Morris & Ogan, 1996).

Jadi, haruskah kita meninggalkan istilah 'komunikasi massa'?

Menurut artikel Mass Communication & Society (2001), yang berjudul "The End of Mass Communication?" karya Steven H. Chaffee and Miriam J. Metzger, dijelaskan bahwa pada dasarnya kehadiran new media tidak akan menghilangkan kajian komunikasi massa. Namun, untuk menjawab persoalan komunikasi massa yang semakin kompleks, tentu diperlukan perubahan dalam hal pengembangan teori komunikasi massa agar lebih relevan dengan lingkungan new media saat ini. Dengan kata lain, new media membawa tantangan bagi model teori komunikasi massa lama.

Chaffee dan Metzger juga mengungkapkan bahwa sampai kapanpun new media tidak akan bisa "menghilangkan" komunikasi massa.

Alasan pertama, karena menurut Turow (1992), media massa adalah bagian dari proses penciptaan makna tentang masyarakat bagi anggota masyarakat. Hal ini menjadikan komunikasi massa memiliki fungsi yang penting dan unik dalam masyarakat, yang tidak mungkin berkurang eksistensinya di masa depan. Misalnya, peristiwa yang disajikan media seperti cuplikan perang secara langsung atau olimpiade nasional maupun internasional yang akan terus menyatukan penonton dalam skala massal, seperti yang selalu mereka lakukan (Dayan & Katz, 1992).

Alasan kedua, jumlah audiens untuk new media di berbagai saluran masih akan sangat besar jumlahnya, bahkan jutaan. Sehingga, apa yang telah dipelajari dalam kajian komunikasi massa, seperti konsep dasar, teknik dan efek dari komunikasi massa masih akan terus dapat diterapkan di lingkungan media baru. Namun, setidaknya teori komunikasi massa lama yang sudah kurang relevan, diperlukan pengembangan dan pengkajian kembali, serta diarahkan pada perluasan spekturmnya, sehingga tidak hanya membahas atau mengkaji komunikasi massa tradisional saja, tetapi juga mencakup komunikasi bermedia internet.

Oleh karena itu, yang dapat kita pahami dari kajian The End of Mass Communication? ini yaitu menyadari bahwa telah terjadi perubahan dalam kajian komunikasi massa yang disebabkan oleh new media. Dari yang sebelumnya mudah diidentifikasi, dimonitor dan diteliti menggunakan riset kuantitatif, berubah menjadi kajian yang sangat kompleks dan luas cakupannya sehingga diperlukan penelitian yang lebih mendalam dengan riset kualitatif. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun