Kali ini si teman setengah percaya setengah tidak. Si teman  ragu, kalau-kalau Ajay yang suka guyon, telah mengeluarkan lelucon pamungkasnya. Ia hendak menolong Ajay, tapi keraguan menghantuinya.
Malam pun tiba. Di luar kamar nampak gaduh. Terdengar suara perempuan, laki-laki, dan masih banyak lagi yang lainnya. Di luar kamar, terdengar ramai. Ajay menunggu dengan hati gulana, hingga ia lupa shalat, dan hanya kuasa meratap.Â
Pacarnya yang nampak mesra dan seolah cintanya sedalam sumur Lubang Buaya, sudah menjelma seraut wajah Nene Pelet dari Gunung Cermai, di Cirebon. Ia merasa dikhianati.Â
Ia merasa pacarnya telah kerasukan setan alas yang tak lagi berperasaan. Hatinya berjanji, kalau berhasil keluar dari kamar itu, ia akan meninggalkannya dengan hidup yang mengenaskan.
Pintu terkuak. Betapa terperanjatnya Ajay, melihat seorang tinggi besar berkopiah dua puluh senti dan berkumis tebal, masuk ke dalam kamar.
"Hai Cong, ayo keluar!" orang itu setengah membentak.
Ajay gelagapan. Ia hampir terkencing-kencing. Jantungnya hampir meledak. Ia berjalan gemetar melewati orang yang berkumis tebal, yang berdiri di dekat daun pintu.
"Duduk," kata orang berkumis.
Ajay duduk, dan di hadapannya sudah bertengger seorang polisi, ketua RT, dan seorang polisi. Wajah Ajay pias, pucat menyerupai mayat.
Di dalam hatinya ia bertanya-tanya, apa salahku?Â
Si kumis kemudian mengintrogasi, "kamu apakan anak saya?"