Mohon tunggu...
tukiman tarunasayoga
tukiman tarunasayoga Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kemasyarakatan

Pengajar Pasca Sarjana Unika Soegiyopranata Semarang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bahaya "Kepaten Obor"

30 September 2020   08:17 Diperbarui: 30 September 2020   09:27 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahaya "Kepaten Obor"

Oleh Tukiman Tarunasayoga

Bacalah kepaten seperti Anda mengucapkan "Orang sesaleh beliau, mungkinkah  ...." atau "Sekaliber mantan panglima, mengapa tidak tahu peraturan?" Kepaten, -asal kata pati/mati- , berarti (mengalami) mati, dan ketika digabung dengan obor, -kepaten obor- , arti lurusnya ialah obor itu telah mati. Nah .......idiom kepaten obor bermakna kelangan lacak tumrap paseduluran, yaitu (siapa pun) dapat kehilangan jejak hubungan  persaudaraannya. 

Dalam konteks sejarah berbangsa dan bernegara pun, bukannya tidak mustahil kita bisa mengalami kepaten obor. Lihat saja misalnya betapa sampai saat ini masih sering disimpang-sengkarutkannya peristiwa 30 September, dalam kaitannya dengan Partai Komunis Indonesia waktu itu, serta terbunuhnya sejumlah perwira tinggi, dan lain sebagainya, dan lain seterusnya.

Intinya, peristiwa di tahun 1965 itu, -baru 55 tahun yang lalu- , rasanya perlu ditegaskan dan diluruskan secara historis untuk menghindari kepaten obor. Bukti adanya bahaya kepaten obor menggejala setiapkali tiba bulan September,  yang seharusnya berupa "September Ceria" justru sering menjadi "September selalu ada cerita" berhubung ada saja yang suka mengungkit, mengangkat, bahkan mengangkut kisah-kisah lampau itu seraya memutar ke kiri, menggesernya ke kanan, persis seperti gerakan tubuh ketika menyanyikan lagu Potong Bebek.

Kepaten obor dalam kaitannya dengan peristiwa 30 September 1965 memang sangat mungkin karena beberapa alasan. 

Pertama, (mungkin) ada kesengajaan oleh pihak tertentu fakta sejarahnya dikaburkan atau disamarkan. Mengapa? Kosakata paling menakutkan dan gawe tintrim selepas peristiwa waktu itu ialah "Tersangkut G30S/PKI." Siapa saja waktu itu (bahkan masihkah sampai sekarang??) berusaha sekuat tenaga dan kemampuan agar anggota keluarga tidak ada satu pun yang kena cap "tersangkut G30S/PKI." 

Jika terjadi ada salahsatu anggota keluarga terkena/tersangkut, sertamerta ada upaya dia yang tersangkut itu "dikeluarkan" dari garis hubungan persaudaraan, entah dengan cara apa pun. Mengapa sedemikian tragiknya?  Karena, begitu ada anggota keluarga dinyatakan tersangkut, seluruh keluarga besarnya, bahkan sampai anak cucu keturunannya, akan terkena imbas tersangkut, dan sulit mendapatkan "tempat berlabuh," bahkan untuk hidup sewajarnya pun tertutup. Ngeri memang.

Kedua, atas "tragika" yang disebutkan di atas, kepaten obor sudah dapat dan mudahlah dibayangkan, yakni adanya penghilangan jejak secara sistemik, sehingga menyulitkan menelisik siapa domba dan siapa pula musang atau bahkan serigala. Orang yang di September ini teriak-teriak tentang bahaya kebangkitan komunisme, atau mereka yang diam saja seolah-olah tidak melihat apa pun; sama-sama samar dan kabur terkait ada tidaknya sangkut pautnya dengan "garis keturunan/persaudaraannya" dengan tragedy 30 September itu.

Dan ketiga, akumulasi traumatik baik karena alasan pertama maupun alasan kedua di atas, saat ini telah menjadi pengetahuan "sepihak" saja berhubung telah terjadi alih generasi. Kita lihat saja betapa mereka yang meributkan adalah "pihak tertentu" karena pernah mengalami, merasa menjadi korban, dan hal senada dengan itu; sementara banyak pihak yang diam bahkan bertanya-tanya mengapa selalu ribut sih, karena memang kurang tahu duduk perkara sebenarnya.

Atas tiga analisis di atas, lagi-lagi dalam rangka menghindarkan diri dari bahaya kepaten obor, kiranya perlu ada beberapa curah pendapat berikut. Satu, sejarah "apa adanya" terkait peristiwa 30 September 1965 perlu ditulis ulang lewat peninjauan peristiwanya. 

Dua, trauma-trauma yang tidak perlu hendaklah dibersihkan secara sistemik berhubung dulunya kemunculannya juga sistemik. Tiga, hubungan darah persaudaraan adalah nilai terindah dalam kehidupan kemasyarakatan kita. 

Oleh karena itu, jika trauma-trauma itu dihilangkan secara sistemik, maka harus ada rekonsiliasi internal pada keluarga-keluarga yang kemarin-kemarin tercerai berai.  

Empat, generasi telah bergeser, bahkan mungkin berubah; maka menatap masa depan jauh lebih penting dari sekedar memberi peluang bernostalgia bagi orang-orang tua yang merasa berjasa sekali pun. 

Utamakan menatap masa depan, meski pun tetap harus ditanamkan jangan lupa sejarah bangsamu. Dan lima, orang-orang tua hendaklah benar-benar menempatkan diri dalam koridor tut wuri handayani.

Dalam rangka berusaha bersama terhindar dari bahaya kepaten obor, Pemerintah memiliki otoritas kuat dan resmi, -tentunya bersama lembaga permusyawaratan perwakilan- , untuk meneruskan pendokumentasian peta sejarah berbangsa dan bernegara yang sebenarnya. Kalau dalam perjalanan itu ada saja orang yang "mengganggu" entah dengan alasan cari perhatian atau pun sekedar memanfaatkan momentum; wajarlah kalau Pemerintah mengambil tindakan tertentu kepada orang seperti itu. Apalagi kalau gangguan itu ada tali-temalinya dengan upaya untuk "membengkokkan sejarah." Bila betul seperti itu, bahaya kepaten obor benar-benar nyata tantangan dan siapa yang mau terus mematikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun