Mohon tunggu...
Rena
Rena Mohon Tunggu... Freelancer - nama asli

pecinta proses dan perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Deradikalisasi di Kampus

9 Desember 2018   20:16 Diperbarui: 9 Desember 2018   20:33 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Permenristekdikti No.55 Tahun 2018 digadang-gadang sebagai instrumen deradikalisasi di kampus. Dengan begitu, organisasi mahasiswa khusus wajib ada di tiap kampus. Akan tetapi, mahasiswa menentangnya. Padahal, deradikalisasi di kampus penting bagi kondusivitas iklim pendidikan.

Ada dua alasan mengapa mahasiswa menentang peraturan ini. Pertama, alasan traumatis. Ini tak lepas dengan pengalaman masa lalu di era Orde Baru. Pasalnya, peraturan ini terkait soal pembinaan ideologi bangsa. Alhasil, muncul kekhawatiran akan mundur ke era Orde Baru. Sebab, kala itu hak masyarakat untuk berekspresi diberangus. Selain itu, kehadiran ormawa (red organisasi kemahasiswaan) ekstra di kampus dapat memecah-belah mahasiswa. Konsekuensinya, partai politik berpotensi kuat menunggangi organisasi kampus.

Kedua, anggapan mubazir. Muncul anggapan, program dan organisasi khusus ini hanya akan menghabiskan anggaran universitas. Padahal, kemungkinan nihil dampak. Sebenarnya, jika pemerintah dan universitas dapat memanfaatkan mata kuliah Kewarganegaraan dan Pancasila untuk membentuk mahasiswa yang nasionalis. Hanya saja, terdapat tantangan untuk memanfaatkan kedua mata kuliah tersebut. Agar mahasiswa tertarik, dosen pengampu kedua mata kuliah tersebut harus berinovasi.

Peraturan Reaksioner

Kalanga awam menilai peraturan ini lahir semata-mata akibat sikap reaksioner pemerintah terhadap radikalisme. Melaluinya, pemerintah kini telah memiliki instrumen legal untuk menanggulangi  radikalisme. Akibat tindakan ini, tak berlebihan jika masyarakat menganggap pemerintah gagap, lantaran baru menguatkan kembali nasionalisme saat radikalisme mengancam.

Peraturan ini dinilai sangat reaksioner karena 1) Melalui peraturan ini, pemerintah bersikap seperti antibiotik, tidak menyembuhkan. Akibatnya, virus radikalisme tidak berhasil diberantas hingga ke akar. 2) implementasi peraturan ini dianggap bertolak belakang dengan demokrasi di kampus. Kehadirannya menciptakan polarisasi di kampus. 3) Peraturan sangat singkat, tidak menjelaskan rincian implementasinya yang sesuai dengan azas demokrasi. 4) Peraturan ini hadir dalam iklim kampanye pilpres dan bisa menjadi alat pengondisian suara mahasiswa.

Peraturan Multitafsir

Untuk memahami peraturan ini, mari kita lihat isinya bersama-sama. Untuk memudahkan, peraturan diringkas menjadi beberapa poin utama. Pertama, tentang tujuan peraturan ini, yaitu melawan radikalisme. Kedua, dalam pengimplementasiannya, pemerintah mewajibkan perguruan tinggi bekerja bersama ormawa ekstra untuk membentuk badan pembinaan ideologi bangsa. 

Ketiga, perguruan tinggi menentukan struktur organisasi secara langsung. Adapun, pokok peraturan yang berpeluang multitafsir terletak pada poin ideologi bangsa. Tertulis, pembinaan ideologi bangsa meliputi pemahaman, penghayatan dan pengamalan konsensus dasar berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.

Pemahaman, penghayatan dan pengalaman menjadi krusial. Padahal sejauh ini, nilai-nilai dalam 4 pilar ideologi bangsa itu masih belum jelas, ada banyak interpretasi dari berbagai kalangan. Inilah yang berpeluang multitafsir. Lebih parah lagi, ideologi bangsa yang multitafsir ini juga berdampak pada implementasi peraturan ini.

Peraturan ini multitafsir karena tidak menjelaskan mekanisme yang harus di tempuh dalam membentuk organisasi khusus. Selain itu, peraturan ini juga tidak menjelaskan metode upaya pembinaan. Selanjutnya, peraturan tidak menjelaskan materi yang akan ditanamkan sebagai upaya deradikalisasi. Apakah tidak jauh beda dengan mata kuliah Kewarganegaraan dan Pancasila?

Tentu, tak pelak lagi kehawatiran publik kembali menyeruak. Penyebabnya adalah alasan traumatis. Tak menutup kemungkinan, masyarakat bangsa ini terlalu takut bersepakat terhadap nilai-nilai 4 pilar ideologi. Padahal, sebaliknya jika masyarakat bersepakat, upaya penanaman ideologi bangsa bisa berjalan baik.

Peraturan kontroversial

Tak hanya multitafsir, peraturan juga menuai kontroversi. Perguruan tinggi harus melibatkan atau bekerja sama dengan ormawa. Pasal ini memicu perdebatan. Lantaran, ormawa ekstra biasanya underbow partai politik tertentu. Sehingga, kader ormawa ekstra sudah menjadi alat kekuasaan politikus. 

Fakta ini menjadi rahasia umum, Mahasiswa sudah melakukan politik praktis secara terselubung. Padahal peraturan sebelumnya melarang mahasiswa melakukan politik praktis di kampus, yakni, Keputusan Dirjen Dikti No. 26 Th. 2002 tentang Pelarangan Organisasi Ekstra Kampus Atau Partai Politik dalam Kehidupan Kampus.

Fakta ini membuktikan mahasiswa sebenarnya melakukan politik praktis dikampus, namun pemerintah tidak pernah menyinggung Keputusan Dirjen Dikti No.26 Th. 2002 yang dilucuti oleh keluarnya permenristekdikti No.55 tahun 2018. Dengan adanya peraturan baru, muncul anggapan bahwa pemerintah justru menggunakan kesempatan dalam kesempitan. 

Peraturan tersebut akhirnya dianggap sarat kepentingan politik. Permenristekdikti No. 55 tahun 2015 ini, melegitimasi dan akhirnya memperkuat politik praktis di kalangan mahasiswa yang jelas dilarang. Ini merupakan bentuk peraturan yang kontroversial, satu peraturan melucuti peraturan lain yang telah diberlakukan. Dengan begini pemerintah dianggap tutup mata dan tutup telinga atas dampak buruk yang akan terjadi atas diberlakukannya peraturan ini.

Itulah anggapan masyarakat khususnya mahasiswa terhadap diberlakukannya Permenristekdikti No.55 Th. 2018, dipengaruhi oleh sikap traumatis. Akan tetapi sampai kapan sikap traumatis ini hadir?

Ideologi suatu bangsa sangat penting untuk dipahami dan dipraktikan. Akan tetapi, rasa traumatis ini membuat ideology tersebut terlihat gamang di kepala individu masyarakat Bangsa. Terbukti dengan keengganan masyarakat bangsa untuk menyamakan suara atau bersepakat terkait nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Mungkin ini juga yang menyebabkan pengimplementasian suatu instrument negara, khususnya peraturan yang sedang dibahas kali ini, terkendala.

Jika dilihat dari perspektif yang positif, peraturan ini juga berpotensi menciptakan iklim yang baik dalam kehidupan berkewarganegaraan, mulai dari kampus. Dengan tidak melihat peraturan ini sebagai peraturan yang reaksioner, peraturan ini juga bisa menanamkan nilai-nilai yang toleran dan nasionalis, kembali kepada pemikiran Bhineka tunggal ika yang menjadi ideology bangsa ini sendiri.

Dengan tidak melihat peraturan ini sebagai peraturan yang multitafsir, bisa berawal dari membangun kesepakatan dalam mekanisme yang bisa ditempuh tanpa mengesampingkan azas demokrasi dalam kampus. Ini juga bisa menjadi  alat monitoring mahasiswa terhadap implementasi peraturan pemerintah. Harapannya, mahasiswa menjadi lebih kritis terhadap pengimplementasian peraturan ini.

Sekalipun banyak kehawatiran atas implementasi peraturan ini, bukan berarti harus sepenuhnya menolak. Apalagi dengan alasan traumatis, tanpa mempertimbangkan hal-hal positif yang bisa menjadi dampak serta berguna dalam pembentukan karakter masyarakat bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun