Tentu, tak pelak lagi kehawatiran publik kembali menyeruak. Penyebabnya adalah alasan traumatis. Tak menutup kemungkinan, masyarakat bangsa ini terlalu takut bersepakat terhadap nilai-nilai 4 pilar ideologi. Padahal, sebaliknya jika masyarakat bersepakat, upaya penanaman ideologi bangsa bisa berjalan baik.
Peraturan kontroversial
Tak hanya multitafsir, peraturan juga menuai kontroversi. Perguruan tinggi harus melibatkan atau bekerja sama dengan ormawa. Pasal ini memicu perdebatan. Lantaran, ormawa ekstra biasanya underbow partai politik tertentu. Sehingga, kader ormawa ekstra sudah menjadi alat kekuasaan politikus.Â
Fakta ini menjadi rahasia umum, Mahasiswa sudah melakukan politik praktis secara terselubung. Padahal peraturan sebelumnya melarang mahasiswa melakukan politik praktis di kampus, yakni, Keputusan Dirjen Dikti No. 26 Th. 2002 tentang Pelarangan Organisasi Ekstra Kampus Atau Partai Politik dalam Kehidupan Kampus.
Fakta ini membuktikan mahasiswa sebenarnya melakukan politik praktis dikampus, namun pemerintah tidak pernah menyinggung Keputusan Dirjen Dikti No.26 Th. 2002 yang dilucuti oleh keluarnya permenristekdikti No.55 tahun 2018. Dengan adanya peraturan baru, muncul anggapan bahwa pemerintah justru menggunakan kesempatan dalam kesempitan.Â
Peraturan tersebut akhirnya dianggap sarat kepentingan politik. Permenristekdikti No. 55 tahun 2015 ini, melegitimasi dan akhirnya memperkuat politik praktis di kalangan mahasiswa yang jelas dilarang. Ini merupakan bentuk peraturan yang kontroversial, satu peraturan melucuti peraturan lain yang telah diberlakukan. Dengan begini pemerintah dianggap tutup mata dan tutup telinga atas dampak buruk yang akan terjadi atas diberlakukannya peraturan ini.
Itulah anggapan masyarakat khususnya mahasiswa terhadap diberlakukannya Permenristekdikti No.55 Th. 2018, dipengaruhi oleh sikap traumatis. Akan tetapi sampai kapan sikap traumatis ini hadir?
Ideologi suatu bangsa sangat penting untuk dipahami dan dipraktikan. Akan tetapi, rasa traumatis ini membuat ideology tersebut terlihat gamang di kepala individu masyarakat Bangsa. Terbukti dengan keengganan masyarakat bangsa untuk menyamakan suara atau bersepakat terkait nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Mungkin ini juga yang menyebabkan pengimplementasian suatu instrument negara, khususnya peraturan yang sedang dibahas kali ini, terkendala.
Jika dilihat dari perspektif yang positif, peraturan ini juga berpotensi menciptakan iklim yang baik dalam kehidupan berkewarganegaraan, mulai dari kampus. Dengan tidak melihat peraturan ini sebagai peraturan yang reaksioner, peraturan ini juga bisa menanamkan nilai-nilai yang toleran dan nasionalis, kembali kepada pemikiran Bhineka tunggal ika yang menjadi ideology bangsa ini sendiri.
Dengan tidak melihat peraturan ini sebagai peraturan yang multitafsir, bisa berawal dari membangun kesepakatan dalam mekanisme yang bisa ditempuh tanpa mengesampingkan azas demokrasi dalam kampus. Ini juga bisa menjadi  alat monitoring mahasiswa terhadap implementasi peraturan pemerintah. Harapannya, mahasiswa menjadi lebih kritis terhadap pengimplementasian peraturan ini.
Sekalipun banyak kehawatiran atas implementasi peraturan ini, bukan berarti harus sepenuhnya menolak. Apalagi dengan alasan traumatis, tanpa mempertimbangkan hal-hal positif yang bisa menjadi dampak serta berguna dalam pembentukan karakter masyarakat bangsa.