Di pertengahan pagi menuju siang, saya baru saja check-out dari hotel. Di layani oleh fronter desk cantik, berhijab. Sedikit aneh sebenarnya. Hotel ini bukan hotel syariah (sepertinya), dan demi kebijakan 'kenyamanan tamu' yang beragam, biasanya manajemen hotel tidak memosisikan perempuan berhijab di front desk. Atau mungkin saya saja yang berpikiran seperti itu. Lagi pula saya bukan orang yang sering menginap di hotel. Kebetulan saja ada acara lembaga tempat dimana saya mendedikasikan kemampuan saya. Acaranya waktu itu adalah diskusi bersama mengenai strategi penarikan pekerja anak Indonesia hingga tahun 2020. Saya menghadiri acara tersebut bersama mentor saya.
Sekitar jam 10.30 pagi hari, grab-bike yang saya pesan sudah tiba di lobby. Saya dan mentor akhirnya pergi menuju pool travel. Keberangkatan kami menuju Bandung dijadwalkan pukul 12 siang. Di jalan, menuju pool travel, saya kepikiran fronter desk berhijab tadi. Mungkin karena dia cantik mirip Marissa Haque. Sekalipun saya perempuan, saya tidak pernah malu mengagumi perempuan cantik. Saya memikirkan nama hotel tempat saya menginap, memastikan bahwa hotel tersebut bukan hotel syariah. Cukup aneh memang, saya sering memikirkan hal-hal yang tidak penting, terkadang sampai lupa prioritas lain yang harus saya pikirkan.
Setibanya di pool travel, sambil menunggu jadwal keberangkatan, mentor saya mengajak ke warkop. Meskipun warkop yang kami datangi belum buka, mentor saya meminta dibuatkan kopi, dan si empunya warkop tidak menolak. Mentor saya ini wajahnya memang sedikit urakan (maaf Pak mentor), tapi beliau selalu meyakinkan orang-orang bahwa hatinya tidak urakan.
Akhirnya kami bicara panjang lebar soal strategi-strategi yang di diskusikan kemarin bersama kawan-kawan. Dari setiap diskusi, yang saya perhatikan, sering kali mereka mengambing hitamkan perihal pendanaan. Karena dana tidak cukup, akhirnya projek tidak berjalan. Untung mentor saya bukan kalangan yang mengambinghitamkan pendanaan. Beliau lebih senang bekerja dengan sumber yang apa adanya.Â
Beliau bilang "Disitulah kemampuan kita di uji. Kita memang butuh uang, tapi uang jangan sampai jadi kendala pemenuh kebutuhan".
Itu menjadi wejangan beliau yang selalu saya ingat dikala kantong saya kering.
Entah bagaimana, pikiran saya tidak fokus ke perihal strategi penarikan pekerja anak. Masalah perempuan berhijab di front desk akhirnya saya utarakan ke mentor. Pembicaraan ini ujung-ujung nya diskusi panas soal Islam di Indonesia. Kebetulan study yang sedang saya ambil adalah sejarah islam di Southeast Asia. Tentu saya memiliki sedikit pengetahuan mengenai corak Islam di negara-negara Asean, utamanya negara Asean dengan populasi Islam terbanyak.
"Islam yang masuk ke negara kita ini, Islam perihal halal dan haram, ngerti gak?" katanya, saat diskusi mulai intense.
Mentor sering menjuluki saya si 'heuras' saat berdiskusi dalam Bahasa Indonesia artinya 'keras', ini karena saya sebenarnya tidak mudah paham definisi luas. Saya selalu menanyakan ke hal yang paling detail, sampai saya benar-benar paham dan yakin bahwa pemahaman saya ini valid, tidak sewenang-wenang membentuk judgement yang tidak adil, salah satu upaya agar saya adil sejak dalam pikiran.Islam memang memberi penekanan soal halal dan haram: melakukan anjurannya, menjauhi larangannya, yang disebut bertaqwa. Tapi saya selalu menghindari sesuatu yang filosofis soal Islam. Saya sendiri adalah orang muslim.Â
Bicara filosofi Islam terlalu bias. Apa lagi dengan empat mazhab Islam yang berbeda tapi sama. Saat bicara soal Islam saya lebih suka bicara soal politik, dan progresivitas Islam. Tentu yang merekam semua itu adalah sejarah. Namun yang membuat saya tertarik dalam diskusi pendek kali itu adalah Islam Progressive dan Islam Retrogessive.
 Yang menjustifikasi pengklasifikasian Islam tersebut adalah gerakannya, dan tentu tujuan dari gerakan tersebut.Islam progresif secara luas adalah gerakan Islam yang tujuannya adalah mewujudkan Islamic Power. Ingat sejarah golden age of Islam II, dimana Ottoman mengalahkan Konstantinopel. Saat itu Ottoman memiliki pasukan tentara yang kuat, dan membuat ke khalifahan yang kuat. Sangat dihormati, dicintai (mungkin) dan ditakuti. Perwujudan Islam seperti itulah yang menjadi tujuan gerakan Islam progressive. Karakteristik aksi Islam progressive biasanya lebih massive dan menggebu-gebu dengan ambisi mengembalikan kekuatan dan kejayaan Islam.Â
Yang lainnya adalah Islam retrogressive, dimana gerakannya sebenarnya bisa sama dengan Islam progressive (massive dan menggebu-gebu), namun tujuan utamanya bisa dibilang bukan kekuasaan, melainkan perwujudan nilai-nilai tradisional Islam yang berkembang di kawasan arab peninsula pada masa awal perkembangan Islam, atau bisa dibilang corak Islam pada saat Nabi Muhammad menyebarkan Islam dan masa kepemimpinan Rashidun. Coraknya pada masa itu adalah 'pembudayaan Islam' di kalangan masyarakat Arab. Gerakan retrogressive ini seringkali dikatakan gerakan mundur, karena prinsipnya adalah kembali ke Islam ortodoks saat Islam pertama kali berkembang.
Berdasarkan sejarah gerakan Islam di Indonesia, gerakan retrogressive ini sering kali didiskusikan. Para pendiri gerakan retrogressive ini memiliki pandangan bahwa nilai-nilai Islam dan budaya Islam saat itu mampu menjadi solusi kesenjangan ekonomi yang terjadi, misalnya penunain zakat dan infaq.
Menilik kondisi Islam di Indonesia saat ini, dari perspektif saya, mungkin pengklasifikasian seperti itu masih relevant. Pembagian islam progressive dan retrogressive sendiri, bagi saya, menjadi titik awal keberagaman Islam di Indonesia. Saat ini, beberapa kalangan ingin menghapuskan sekulerisme, dan mendirikan negara Islam dengan ke khalifahan yang kuat. Dan beberapa kalangan yang lain, lebih menghayati Islam dari ajaran-ajarannya, dan menginternalisasi Budaya Islam terhadap kehidupan bermasyarakat.
Pada dasarnya, mungkin saat ini gerakan Progressive bisa dibarengi dengan gerakan retrogressive maupun sebaliknya. Dan saya pikir terdapat koherensi disini, saat tujuan utamanya adalah mewujudkan kekuatan dan kejayaan Islam, dibarengi dengan internalisasi budaya Islam dikalangan masyarakat. Klasifikasi tersebut mungkin akan mengotak-kotakan Islam dan gerakannya di Indonesia, tapi sebenarnya tidak. Kedua gerakan ini tidak bertentangan satu sama lain. Sekalipun tujuan nya berbeda, namun keduanya saling menguatkan satu sama lain. Untuk membuktikannya, tentu dibutuhkan penelitian sosial, mengamati fenomena-fenomena populer yang terjadi yang berhubungan dengan ajaran Islam, misalnya popularisasi 'pemuda hijrah' dan merebaknya institusi-institusi syariah.
Akhirnya diskusi berakhir. Sebelum meninggalkan warung kopi, saya menyempatkan diri untuk browsing, mencari informasi mengenai hotel tempat saya menginap, ternyata bukan hotel syariah :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H