Hemat saya, Moeldoko seharusnya tidak perlu mengungkit kisah pelaksanaan KLB dan berharap tanggapan publik atas "daulat" dirinya. Cukup menunggu ketok palu Kementerian Hukum dan HAM.
Keempat, atau barangkali Moeldoko ingin mendapat sorotan media supaya perjuangannya di KLB tidak tenggelam oleh pemberitaan lain? Andaikan begitu, maka momen yang dipilih sangat tidak tepat.
Karena di hari yang sama, negeri ini dilanda duka kemanusiaan akibat ulah teroris di Makassar. Sungguh kurang elok bagi Moeldoko bila kabar kepentingan politiknya "dipaksa" muat di kanal-kanal media.
Sebagai bagian dari pemerintahan, Moeldoko sepantasnya berkenan menahan diri membicarakan kepentingan pribadi di saat perhatian masyarakat sedang tersita menyoal kebiadaban para teroris.
Kelima, menyangkutkan "keselamatan bangsa" serta misi Indonesia Emas 2045 dengan urusan kepemimpinan di Partai Demokrat, apakah artinya jika Moeldoko gagal menjadi ketua umum, maka keduanya mustahil tercapai?
Adakah Moeldoko menganggap bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan bangsa dan mewujudkan Indonesia Emas 2045 yakni dengan menjadi seorang ketua umum partai politik? Kalau memang terpaksa demikian, mengapa harus Partai Demokrat? Mengapa tidak bikin partai baru?
Bukankah dengan menjalankan tugas selaku Kepala KSP dan membantu Presiden Jokowi semaksimal mungkin, kiranya cukup bagi Moeldoko untuk saat ini? Mengapa "wajib" menarik Partai Demokrat?
Berkenankah sebagian publik disalahkan jika akhirnya berpendapat bahwa Moeldoko sedang berupaya "menarik paksa" Partai Demokrat untuk menjadi bagian koalisi pemerintah? Karena faktanya Moeldoko masih berada di pemerintahan.
Keenam, saya sependapat dengan Moeldoko, bahwa nama Presiden Jokowi tidak boleh dibawa-bawa. Bergerak sendiri, tanpa restu. Namun, jika kelak berhasil menjadi ketua umum, apakah artinya Moeldoko tetap tidak butuh restu agar diterima di koalisi pemerintahan?
Bagaimana mungkin seorang "abdi dalem" Panglima Tertinggi republik merasa punya kebebasan bertindak? Tidakkah Moeldoko selaku mantan Panglima TNI punya kewajiban memegang teguh Sapta Marga (sekurangnya 2 poin: kejujuran dan patuh kepada pimpinan)?
Maksudnya begini. Mengaku bergerak atas otoritas pribadi dan tanpa restu, apakah Moeldoko tidak pernah membicarakan misi politiknya kepada Presiden Jokowi? Kalau betul tidak pernah, poin kejujuran di Sapta Marga diletakkan di mana?