Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pelantikan Biden-Harris dan Potensi Perpecahan di Tubuh Republik

22 Januari 2021   07:19 Diperbarui: 22 Januari 2021   07:53 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden AS Joe Biden dan Wakil Presiden AS Kamala Harris | Foto: New York Post

Akhirnya, Joseph Robinette Biden Jr. (Joe Biden) dan Kamala Devi Harris (Kamala Haris) resmi memimpin Amerika Serikat sebagai presiden dan wakil presiden. Biden jadi presiden ke-46, sementara Harris jadi wakil presiden ke-49.

Setelah dilantik pada Rabu (20/1/2021) kemarin, Biden "ternobatkan" sebagai presiden tertua yang pernah terpilih dalam sejarah AS, yakni berusia 78 tahun (lahir di Pennsylvania, 20 November 1942), sedangkan Harris menjadi wakil presiden berjenis kelamin perempuan pertama.

Hal lain yang perlu diketahui yakni, bahwa sebenarnya tidak hanya Biden yang berstatus presiden, tetapi juga Harris. Sesuai tradisi dan konstitusi AS, pejabat wakil presiden turut mendapat tugas sebagai Presiden Senat, atau ketua para senator.

Maka, selain membantu Biden menjalankan tugas, Harris juga bertanggungjawab memimpin 100 senator yang berasal dari 50 negara bagian. Komposisi senat kali ini unik dibanding 10 tahun terakhir, yaitu berjumlah seimbang antara Demokrat dan Republik (50:50), tanpa perwakilan independen.

Itulah mengapa ketika Biden mengawali tugasnya dengan membatalkan sekian kebijakan Donald Trump dan menandatangani perintah eksekutif, Haris melaksanakan tugas melantik tiga senator dari Demokrat (Jon Ossoff, Raphael Warnock, dan Alex Padila).

Moga-moga Biden dan Harris mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Karena di samping merealisasikan keinginan warga AS, keduanya harus ikut mewujudkan harapan dunia.

Pada judul artikel, saya menulis bahwa ada potensi perpecahan di tubuh Republik, partai yang menaungi Trump, usai pelantikan Biden-Harris. Mengapa dan bagaimana?

Potensi yang saya maksud ini akan terjadi bilamana Trump tetap bersikukuh merasa tidak kalah di Pilpres, serta jika ia masih ingin mengusung diri sebagai calon presiden pada 2024 mendatang. Artinya, semua tergantung "kendali" Trump.

Entah, sampai kapan Trump menyoal kemenangan Biden-Harris, yang pasti ia sempat menyatakan beberapa waktu lalu kalau berkeinginan menduduki kembali Gedung Putih.

Lalu apa hubungan antara kekukuhan hati dan keinginan Trump dengan perpecahan di tubuh Republik? Jawabannya, selama Trump tidak berbesar hati, maka selama itu pula dirinya "dikucilkan" oleh Republik.

Bukankah sebagian petinggi Republik mengecam Trump atas ulahnya yang tidak mengakui kekalahan? Bukankah juga Republik mengutuk aksi provokasi Trump terhadap para pendukungnya sehingga terjadi peristiwa bentrok berdarah pada 6 Januari silam?

Saya kurang tahu, bagaimana Trump dan Republik menetralkan relasi tegang di antara mereka. Apakah Trump setelah ini mau inisiatif melawat, atau Republik yang rendah hati "memeluk" Trump.

Prediksi saya, andaikata terjadi kesepakatan "damai", relasi Trump dan Republik mustahil sebaik sebelum-sebelumnya. Kemudian, agaknya Republik belum tentu mengusung Trump maju di Pilpres 2024. Pasti ada rasa kapok.

Selanjutnya, kalau Trump memang ingin maju sedangkan Republik tidak memberi restu (yang tentunya dapat dibaca oleh Trump), apa yang mungkin dilakukannya ke depan? 

Berbekal pendukung fanatik dalam jumlah besar, yang disebutnya "Patriot", Trump kemungkinan keluar dari Republik dan membentuk partai baru. Trump punya energi, modal keuangan, dan kesempatan yang cukup untuk melakukan itu.

Para pendukung Trump yang menyebut diri "Trumpisme" bakal mendesak terbentuknya partai baru. Mereka pasti tidak rela Trump berada di situasi sulit dan kehilangan cita-cita menjadi presiden untuk kedua kalinya.

Di mata pendukungnya, terbentuknya partai baru tidak terbatas untuk kepentingan Trump semata, tetapi sekaligus mengakhiri "sistem dua partai" (Demokrat dan Republik) di AS.

"Saya berharap partai baru dapat diluncurkan, Partai Patriot. Itu akan menjadi skenario terbaik, akhir dari sistem dua partai," kata Gia Maxson, salah seorang pendukung fanatik Trump dari North Carolina.

Apakah prediksi saya dan harapan Maxson mungkin terjadi? Tidak ada yang tidak mungkin. Namun sekali lagi, semua tergantung dari sikap dan tindakan Trump. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun