Akhirnya, Joseph Robinette Biden Jr. (Joe Biden) dan Kamala Devi Harris (Kamala Haris) resmi memimpin Amerika Serikat sebagai presiden dan wakil presiden. Biden jadi presiden ke-46, sementara Harris jadi wakil presiden ke-49.
Setelah dilantik pada Rabu (20/1/2021) kemarin, Biden "ternobatkan" sebagai presiden tertua yang pernah terpilih dalam sejarah AS, yakni berusia 78 tahun (lahir di Pennsylvania, 20 November 1942), sedangkan Harris menjadi wakil presiden berjenis kelamin perempuan pertama.
Hal lain yang perlu diketahui yakni, bahwa sebenarnya tidak hanya Biden yang berstatus presiden, tetapi juga Harris. Sesuai tradisi dan konstitusi AS, pejabat wakil presiden turut mendapat tugas sebagai Presiden Senat, atau ketua para senator.
Maka, selain membantu Biden menjalankan tugas, Harris juga bertanggungjawab memimpin 100 senator yang berasal dari 50 negara bagian. Komposisi senat kali ini unik dibanding 10 tahun terakhir, yaitu berjumlah seimbang antara Demokrat dan Republik (50:50), tanpa perwakilan independen.
Itulah mengapa ketika Biden mengawali tugasnya dengan membatalkan sekian kebijakan Donald Trump dan menandatangani perintah eksekutif, Haris melaksanakan tugas melantik tiga senator dari Demokrat (Jon Ossoff, Raphael Warnock, dan Alex Padila).
Moga-moga Biden dan Harris mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Karena di samping merealisasikan keinginan warga AS, keduanya harus ikut mewujudkan harapan dunia.
Pada judul artikel, saya menulis bahwa ada potensi perpecahan di tubuh Republik, partai yang menaungi Trump, usai pelantikan Biden-Harris. Mengapa dan bagaimana?
Potensi yang saya maksud ini akan terjadi bilamana Trump tetap bersikukuh merasa tidak kalah di Pilpres, serta jika ia masih ingin mengusung diri sebagai calon presiden pada 2024 mendatang. Artinya, semua tergantung "kendali" Trump.
Entah, sampai kapan Trump menyoal kemenangan Biden-Harris, yang pasti ia sempat menyatakan beberapa waktu lalu kalau berkeinginan menduduki kembali Gedung Putih.
Lalu apa hubungan antara kekukuhan hati dan keinginan Trump dengan perpecahan di tubuh Republik? Jawabannya, selama Trump tidak berbesar hati, maka selama itu pula dirinya "dikucilkan" oleh Republik.
Bukankah sebagian petinggi Republik mengecam Trump atas ulahnya yang tidak mengakui kekalahan? Bukankah juga Republik mengutuk aksi provokasi Trump terhadap para pendukungnya sehingga terjadi peristiwa bentrok berdarah pada 6 Januari silam?