Maksud dari inkonsistensi Swiss di sini adalah pemberian ruang kepada Uniterre untuk menggunggat kembali kesepakatan antaran Indonesia dan Swiss sebelumnya. Diketahui, dua tahun lalu, pemerintah Swiss sudah mengizinkan Indonesia mengekspor 10 ribu ton kelapa sawit ke negaranya.
Oleh karena itu, tidak salah jika penulis menilai Swiss "menjilat ludah sendiri", atau pun ada "udang di balik batu" atas keputusan mereka, memanfaatkan eksistensi Uniterre.
Atau jangan-jangan lagi, ada kekuatan besar di belakang Uniterre yang ingin menggagalkan referendum Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA), yang direncanakan digelar pada 7 Maret mendatang. Indonesia harus cermat menyikapi hal ini.
Sebab, tidaklah mustahil terjadi, gerakan Uniterre turut memperjuangkan kepentingan Uni Eropa soal pasokan bahan baku nikel dari Indonesia. Seperti diketahui, Indonesia telah resmi menghentikan ekspor nikel sejak 1 Januari 2020.
Baca: Buah Larangan Ekspor Nikel, Investor Asing Serbu Indonesia
Maknanya, jika Indonesia ingin tetap mendapat pasar kelapa sawit 12 persen di Eropa, maka Indonesia wajib melunak dan mencabut larangan ekspor nikel ke luar negeri. Semacam barter kepentingan.Â
Tegasnya, Swiss agaknya tidak hanya mengurus kebutuhan EFTA (European Free Trade Agreement), - yang terdiri dari Swiss, Islandia, Norwegia, dan Liechtenstein - akan tetapi ikut peduli memuluskan kepentingan Uni Eropa, di mana Swiss menjadi salah satu anggota.
Bukankah relasi dagang antara Indonesia dan Uni Eropa sekarang sedang memanas gara-gara nikel? Bukankah pula Uni Eropa kehabisan ide dalam meluluhkan hati Indonesia?
Jadi akhirnya, senjata yang digunakan Uni Eropa adalah "kegalauan" Indonesia yang tengah terancam kehilangan pasar kelapa sawit sebesar 12 persen dari hitungan pasar global. Kemudian turunlah Uniterre memposisikan diri di barisan paling depan.
Maukah Indonesia luluh dan menarik kebijakan larangan ekspor nikel demi pasar kelapa sawit di Swiss dan Uni Eropa yang sebenarnya persentasenya kurang signifikan?
Seharusnya, tidak. Kesempatan menemukan pasar baru di negara lain (baca: benua lain) akan terus ada, ketimbang mengorbankan misi besar dalam menjadi pemain utama di era kendaraan listrik.