Sebanyak 8 juta rakyat Swiss biasanya dilibatkan langsung dalam menentukan kebijakan resmi pemerintah. Mulai dari level nasional, daerah, hingga desa. Mereka diberi kesempatan bersikap setuju atau tidak terhadap sebuah topik yang diperdebatkan.
Maka berarti, setuju tidaknya Swiss atas gugatan Uniterre tergantung hasil referendum. Kalau kebanyakan menolak, berarti keinginan Uniterre tidak tercapai. Sengketa produk sawit Indonesia diabaikan.
Apakah Uniterre telah sukses memenuhi persyaratan jumlah minimal petisi? Rupanya, dalam aksi kampanye penolakan produk kelapa sawit Indonesia yang diadakan pada Senin (11/1/2021) kemarin, Uniterre mengaku syarat sudah terpenuhi.
Di Gedung Parlemen Swiss, di mana turut disaksikan awak media, Uniterre mengaku berhasil memperoleh 61.184 petisi sah pada Juni 2020 dan sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung Swiss. Uniterre mengumandangkan penolakan dengan melibatkan 7 orang pembicara.
Antara lain dua petani organik (Willy Cretgeny dan Jelena Filipovic), dua anggota parlemen dari Swiss Barat (Nicolas Walder dan Denis de la Reussille), dua anggota Partai Juso (Ronja Jansen dan Julia Kueng), serta Budi Tjahjono, WNI yang menetap di Jenewa.
Argumen yang disampaikan keenam warga "asli" Swiss tersebut yaitu perihal kekhawatiran terhadap produk lokal mereka (seperti minyak canola dan bunga matahari) yang berpotensi kalah bersaing bilamana produk kelapa sawit Indonesia diizinkan masuk.
Selanjutnya, mereka menyorot dampak buruk keberadaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang dianggap merusak lingkungan, mengurangi lahan hutan, dan menghambat perlindungan satwa liar.
Tidak hanya itu, mereka juga mempermasalahkan kebijakan pemerintah Indonesia yang dinilai kurang memperhatikan kesejahteraan petani kelapa sawit, peningkatan upah buruh perkebunan, membiarkan eksploitasi anak (sebagai buruh), serta tidak adil memberi cuti hamil.
Jika dipahami, dari sekian alasan Uniterre, kiranya yang patut dimaklumi untuk kemudian dipertimbangkan misalnya, yakni soal ketidakmampuan produk lokal Swiss dalam bersaing sebenarnya. Mengapa "urusan internal" Indonesia dibawa-bawa?
Ada apa dengan Uniterre? Bukankah masalah kesejahteraan petani, penghasilan buruh, hingga cuti hamil tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan bisnis bilateral produk kelapa sawit?
Tidakkah Uniterre paham bahwa semua hal tersebut merupakan ranah tanggungjawab pemerintah Indonesia sendiri? Mengapa Uniterre mencampuri "rumah tangga" Indonesia secara langsung?