Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

FPI Ganti Nama Usai Terlarang, Kenapa PKS dan Demokrat Masih Meradang?

2 Januari 2021   21:17 Diperbarui: 2 Januari 2021   21:22 2210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Organisasi masyarakat Front Pembela Islam (FPI) telah resmi dibubarkan pemerintah pada 30 Desember 2020. Selain berstatus bubar, ormas tersebut juga dilarang mengadakan kegiatan serta menggunakan simbol dan atribut yang selama ini melekat.

Pembubaran FPI disahkan oleh 6 kementerian dan lembaga negara. Antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Selanjutnya, untuk menindaklanjuti keputusan pembubaran dan pelarangan FPI, Kapolri Jenderal Pol. Idham Azis mengeluarkan maklumat bagi seluruh personil kepolisian serta himbauan kepada masyarakat untuk mematuhi kebijakan yang ada.

Merasa ormas mereka dibubarkan dan dilarang, eks pengurus dan anggota FPI tidak bersikap secara berlebihan. Mereka hanya menyesalkan, lalu kemudian segera membentuk organisasi baru bernama Front Persatuan Islam (FPI). Ya, singkatannya tetap FPI.

Entah seperti apa nantinya perkembangan dan kiprah dari "FPI baru" tersebut. Apakah masih melanjutkan "perjuangan dan cara-cara lama" atau bagaimana. Yang jelas, pemerintah mengaku tidak melarang, sepanjang ormas ini berada dalam koridor hukum dan peraturan yang berlaku.

Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa beberapa politisi masih "meradang" dan memprotes pemerintah, sedangkan eks pengurus dan anggota FPI sendiri sudah memilih membentuk ormas baru?

Misalnya saja, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, di mana di berbagai media konsisten menyatakan penolakan atas pembubaran FPI. Namun, Fadli Zon wajar dimaklumi, karena memang sejak lama intim dengan FPI.

Bahkan kabar terbaru, sikap Fadli Zon dinegasi oleh Wakil Ketua Umum Gerindra (lain) Rahayu Saraswati. Keponakan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto ini menyatakan, ia dan partainya mendukung langkah pemerintah yang menindak tegas ormas intoleran.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Fadli Zon tidaklah mewakili Partai Gerindra. Prabowo pun hingga detik ini belum bersuara, meski pada Pilpres 2019 pernah didukung habis-habisan oleh FPI.

Di samping Fadli Zon, rupanya ada lagi politisi lain yang tidak kalah lantang menentang pemerintah. Mereka yaitu Hidayat Nur Wahid dari PKS serta Andi Arief dan Rachland Nashidik dari Partai Demokrat.

Ada apa dengan HNW, Andi Arief, dan Rachland? Apakah suara mereka mewakili partai? Cuma mereka yang tahu. Namun karena tidak ada sesama kader di partai mereka yang menegasi, untuk sementara bisa dikatakan mendapat "restu".

Sepemahaman penulis, HNW juga mungkin layak dimaklumi jika pada akhirnya ngotot membela FPI. Sebab publik tahu, PKS punya kedekatan dan hubungan khusus dengan FPI.

Hal yang penting dipertanyakan sekarang yakni sikap Andi Arief dan Rachland. Apakah betul sikap keduanya mewakili Partai Demokrat serta direstui Agus Harimurti Yudhoyono selaku ketua umum? Apakah SBY juga turut mendukung mereka?

Mengapa Andi Arief sampai memberi "teguran" kepada Menko Polhukam Mahfud MD lewat media sosial Twitter? Teguran yang dimaksud adalah Andie Arief meminta Mahfud MD berhenti mendengar "Jenderal Tua". Siapakah "Jenderal Tua" itu?

Andie Arief tidak memperjelasnya. Barangkali sudah disampaikan langsung ke Mahfud MD. Cuma di Twitter, Mahfud MD mencoba menebak dengan bertanya kepada Andie Arief, apakah "Jenderal Tua" itu salah satunya SBY atau bukan.

Lalu Rachland. Mengapa di medsos, ia protes pemerintah yang membubarkan FPI? Bukankah di zaman SBY, FPI hampir dibubarkan, tepatnya pada 2012?

Kala itu, Mendagri Gamawan Fauzi sempat mengusulkan pembubaran FPI, karena dianggap telah sewenang-wenang dan meresahkan publik. Namun tidak sampai terwujud. Entah apa pertimbangan Gamawan dan SBY yang memilih membiarkan FPI.

Apa alasan Rachland sehingga menganjurkan pembubaran FPI harus melalui keputusan Mahkamah Agung? Tidakkah jelas bahwa FPI sudah membubarkan diri ketika tidak lagi melanjutkan perpanjangan SKT pada Juni 2019.

Pemerintah tidak semena-mena. FPI yang bubar sendiri. Tidak memperpanjang SKT berarti status ormas tidak berlanjut kembali. Mengapa Rachland tidak mampu memahami hal ini?

Kira-kira apa alasan logis PKS (HNW) dan Partai Demokrat (Andi Arief dan Rachland Nashidik) kukuh bersikap? Entah. Barangkali ada "kepentingan tertentu" yang seharusnya tidak boleh terganggu.

Hemat penulis, ketimbang "membela" FPI yang sudah dinyatakan terlarang, mestinya HNW, Andi Arief, dan Rachland fokus membenahi partai mereka supaya menjadi lebih baik. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun