Berbagai media masih ramai membahas keberadaan Markaz Syariah yang berlokasi di Lereng Gunung Gede, Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Ramai karena rupanya ada sengketa lahan di sana, yang melibatkan PT Perkebunan Nusantara VIII dan Rizieq Shihab.
PTPN VIII dan Rizieq, masing-masing berjuang keras untuk mendapatkan hak hukum dalam mengelola lahan seluas puluhan hektar. PTPN VIII mengaku Rizieq telah menyerobot tanah milik mereka dengan cara mendirikan bangunan, sementara Rizieq menepisnya.
Rizieq menjelaskan, lahan yang saat ini Markaz Syariah tempati merupakan hasil jual-beli dengan para petani setempat. Awalnya lahan digarap petani, lalu pada 2013 dibelinya untuk membangun sejumlah fasilitas, yang terdiri dari pondok pesantren dan perkebunan sayur-mayur.
Dalam keterangannya, Rizieq mengaku, sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) memang masih atas nama PTPN VIII, sehingga wajar jika perusahaan itu melayangkan somasi terhadapnya.
Namun demikian, Rizieq membela diri. Menurutnya, lahan dibeli karena, selain para petani ikhlas menyerahkannya, lahan juga sudah ditelantarkan selama puluhan tahun oleh PTPN VIII.
Maka, apabila pihak PTPN VIII ingin mendapatkan kembali lahan tersebut, Rizieq meminta pembayaran uang ganti rugi. Biaya lahan dan bangunan wajib dikembalikan.
Sebagai pribadi, saya kurang paham bagaimana penyelesaian kasus sengketa lahan itu. Tentunya harus ada pihak yang menengahi dan memberi solusi. Akan tetapi, tidak salah kalau saya ikut berpendapat singkat di sini.
Hemat saya, seandainya betul lahan sudah ditelantarkan PTPN VIII, bukan berarti Rizieq dengan mudah mengelolanya. Karena ketika HGU PTPN VIII tercabut gara-gara dinilai menelantarkan, otomatis lahan kembali ke negara.
Artinya, Rizieq wajib menyelesaikan kewajibannya bila ingin mendapatkan atau melanjutkan HGU. Antara lain, mengurusnya dari tingkat RT dan RW, hingga ke BUMN. Apakah Rizieq telah melakukannya? Belum ada kepastian jelas mengenai hal itu.
Selanjutnya, menurut Undang-undang atau pun peraturan lain, bolehkah individu menguasai lahan milik negara untuk membangun fasilitas semisal pondok pesantren? Apakah bangunan ini sejenis usaha di pandangan Rizieq?
Karena berdasarkan peraturan, lahan bersertifikat HGU hanya diberikan kepada individu atau badan hukum yang bergerak di bidang perkebunan, perikanan, dan peternakan.
Mengapa ketiga bentuk usaha ini diberikan? Sebab, di balik hak pengelolaan lahan, individu dan badan hukum mempunyai kewajiban untuk turut memberikan sebagian keuntungannya kepada negara.
Maksudnya, jangan sampai sertifikat HGU disalahgunakan, tidak sesuai syarat dan aturan. Saya berpendapat, ada baiknya Rizieq mengurus legalitas lahan untuk kemudian diluruskan pemanfaatannya. Bila perlu sampai ke pengadilan.
Masalah pihak mana yang nantinya disalahkan, entah PTPN VIII atau Rizieq, sekali lagi, tidak menegasi hak kepemilikan lahan oleh negara. Atas nama negara, pemerintah yang berhak menentukan, akan dijadikan untuk apa lahan itu.
Ya, sebagian pihak akhirnya menghubung-hubungkan sengketa lahan dengan urusan politik. Mereka beranggapan, lahan Markaz Syariah digugat sebagai rangkaian upaya dalam "melumpuhkan" kekuatan Rizieq dan kelompoknya.
Sah-sah saja orang berpendapat demikian. Cuma, jangan sampai juga dimaknai bahwa, kewibawaan negara atas lahan miliknya boleh "tergadai" karena keberpihakan politik.
Saya justru berpikir, jangan-jangan selama ini PTPN VIII kurang "maksimal" merebut kembali lahannya karena menunggu petunjuk arah kekuatan politik. Saya mengira, PTPN VIII baru berani sekarang usai menyaksikan Rizieq dan kelompoknya gagal mendapat sokongan politik.
Para pembaca tentu ingat, beberapa waktu lalu, tepatnya saat perhelatan Pemilu 2019, Markaz Syariah pernah menjadi lokasi basis pendukung pasangan Prabowo-Sandiaga dan Partai Berkarya besutan Keluarga Cendana.
Ada yang masih ingat jika Prabowo dan anak-anak Soeharto sempat mengunjungi Markaz Syariah untuk kepentingan politik mereka? Saya yakin, andai Prabowo-Sandiaga menang Pilpres 2019 (belum tahu soal nasib Partai Berkarya), mustahil lahan Markaz Syariah disengketakan oleh PTPN VIII.
Supaya ingat, pada 3 Oktober 2018, Prabowo pernah menyambangi Markaz Syariah, di mana ia disambut ribuan orang. Di sana ia menyampaikan permohonan dukungan dalam Pilpres 2019. Sila baca (klik) artikel CNN Indonesia ini.
Mereka antara lain Siti Hardijanti Rukmana (Tutut Soeharto) dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek Soeharto). Keduanya hadir tidak hanya meminta dukungan politik, tetapi sekaligus memuji Rizieq dan FPI.
Inilah yang saya sebut keberpihakan politik, kalau akhirnya status lahan di Megamendung mau dikait-kaitkan dengan masalah politik. Sekali lagi, saya membayangkan, kalau  Prabowo-Sandiaga menang Pilpres 2019, Markaz Syariah mungkin tidak dipersoalkan.
Mudah-mudahan sengketa lahan segera terselesaikan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H