Salah satu contohnya yakni, ketika suatu saat Kantor Gubernur DKI Jakarta dikepung oleh massa FPI yang dipimpin langsung oleh Rizieq yang menuntut Sutiyoso untuk menutup seluruh restoran atau rumah makan yang ada di ibu kota di masa bulan puasa.
Di tayangan video wawancara, Sutiyoso berujar bahwa kala itu ia memilih melakukan pendekatan "dari hati ke hati". Ia memutuskan berangkat ke kantor walaupun dilarang salah seorang pejabat pemberi informasi. Ia mengajak Rizieq berdiskusi, bahkan sampai terjadi perdebatan.
Hasilnya, Rizieq menerima penjelasan Sutiyoso dan kemudian "mengultimatum" kelompoknya agar membubarkan diri. Sutiyoso menjelaskan, kebijakannya yang mengizinkan sebagian restoran beroperasi, sudah tercantum di dalam Perda dan disetujui anggota DPRD DKI Jakarta.
Ternyata Sutiyoso hebat juga karena berhasil menaklukkan Rizieq, bukan? Andaikan saja Anies sempat memikirkan cara-cara seperti itu. Dan andaikan pula Sutiyoso tidak terlambat untuk menyampaikan siasat jitu tersebut kepada Anies.
Ya, semoga saja Anies mendengar dan mau belajar dari pengalaman Sutiyoso supaya posisinya sebagai kepala daerah kukuh berdiri tegak, serta pikirannya tidak dihantui keraguan dan kecemasan.
Saran dari Sutiyoso kiranya bermanfaat. Cuma agaknya Sutiyoso 'terlalu' menyamakan Anies dengan dirinya. Maksudnya begini, kondisi "kebatinan" Anies saat ini sebenarnya berbeda dengan yang dialami Sutiyoso.
Pertimbangan psikologis (yang kemudian mempengaruhi sikap dan tindakan) Anies, dapat ditebak tidak dipikirkan oleh Sutiyoso. Entah bagaimana dulu Sutiyoso menjabat gubernur selama 10 tahun dan mendapat dukungan dari mana.
Publik dan Sutiyoso pastinya tahu, salah satu elemen atau kelompok masyarakat yang berkontribusi memenangkan Anies di Pilkada 2017 adalah Rizieq dan FPI. Tidakkah perasaan dilematis Anies (dalam bersikap tegas) dipertimbangkan Sutiyoso?
Tidak jugakah dipahami Sutiyoso bahwa pengalamannya di dunia militerlah yang membentuk ketegasannya, lengkap dengan siasat-siasat jitunya? Mengapa Sutiyoso menyamakan Anies dengan dirinya? Belum lagi masalah pandemi yang nyata menambah beban pikiran Anies.
Oleh karena itu, ketimbang sekadar menyampaikan saran lewat media, alangkah baiknya Sutiyoso mengajak Anies berdiskusi, memecah persoalan dan mencari solusi. Selaku pendahulu, sudah tepat bagi Sutiyoso membantu penerusnya. Maukah Sutiyoso melakukan itu? Mudah-mudahan.
Sekian. ***