Kalau selama ini Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengunggah sesuatu di media sosial tentang aktivitas harian biasa dan capaian prestasi Pemprov DKI Jakarta, hari ini (Minggu, 22/11/2020) berbeda. Begitu menarik untuk dianalisis bila ingin menemukan maknanya.
Unggahan Anies tersebut berisi sebuah foto dan sepenggal kalimat. Pada foto, Anies tampak sedang membaca buku berjudul "How Democracies Die", yang ditulis oleh dua profesor Universitas Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
Pada unggahan foto di 3 akun media sosialnya (Facebook, Instagram, dan Twitter), Anies menulis kalimat "Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi", yang barangkali tujuannya untuk menyapa publik. Namun, menyapa publik dengan mengunggah foto "unik" layak ditebak maksud lebihnya.
Apa sebenarnya isi buku yang dibaca Anies itu dan untuk apa ia memamerkannya ke publik? Adakah hubungannya dengan pernyataan JK beberapa waktu lalu? Sebelum saya mengulas terkaan jawabannya, ada baiknya kita tahu tentang buku tersebut.
Melansir KOMPAS.com (22/11), di mana selain menyajikan berita perihal unggahan Anies, di sana juga terdapat ringkasan isi buku. Buku yang dipegang Anies versi bahasa Inggris, tetapi sebenarnya sudah ada versi bahasa Indonesia setebal 288 halaman berjudul "Bagaimana Demokrasi Mati", yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2019.
Ringkasan bukunya adalah cerita bagaimana demokrasi di suatu negara mengalami kemunduran (mati) akibat terpilihnya banyak pemimpin otoriter, yang menyalahgunakan kekuasaan di pemerintahan untuk menindas total kaum oposisi.
Lewat buku tersebut, para pembaca diajak memahami gejala-gejala kematian demokrasi dan bagaimana cara mengantisipasinya agar tidak menjadi kenyataan di kemudian hari.
Salah satu gejalanya yakni lahirnya kekuasaan otoriter yang dapat mengancam pemerintah, partai politik, dan individu. Sementara mencegahnya dengan cara belajar dari pengalaman.
Pastinya buku yang dibaca dan dipamerkan Anies merupakan hasil karya hebat. Bisa bermanfaat bagi masyarakat, terutama mereka yang peduli kehidupan demokrasi. Maka, berbahagialah penerbit, sebab mungkin sebentar lagi stok buku akan segera habis.
What's going on, Pak Anies?
Apa yang sedang terjadi, Pak Anies? Mengapa Anda tiba-tiba memamerkan buku bacaan bagus ke publik? Bukankah bisa dibaca tanpa harus membuat publik berebut mencari buku yang belum tentu tersedia di rak toko itu?
Tidak perlu menjawab dua pertanyaan terakhir di atas. Yang penting ditelusuri yaitu makna di balik aksi Anies mengungggah foto buku. Bukan tanpa maksud khusus ia melakukan hal itu.
Seperti yang saya lakukan di artikel sebelumnya, di mana saya menebak makna ucapan JK soal "Kekosongan Pemimpin" (sila klik untuk membaca lebih lanjut), kali ini saya pun mencoba melakukan hal yang sama atas aksi Anies di media sosialnya.
Menurut saya, apa yang dilakukan Anies (entah betul membaca buku tersebut sampai selesai) penuh simbol, yang ia harap bisa dibaca publik, khususnya mereka yang ia "sasar".
Saya pun berpikir, lewat aksinya, Anies ingin menyambung sekaligus mempertegas pernyataan JK tentang krisis demokrasi dan kekosongan pemimpin yang mengakomodir aspirasi masyarakat. Artinya, Anies memang mengafirmasi JK.
Berharap suatu saat Anies mengungkap maksudnya ke publik. Akan tetapi di sini saya menguraikan "terkaan" sekaligus bantahan saya terkait "sepakatnya" Anies bahwa Indonesia mengalami kematian demokrasi dan krisis kepemimpinan.
Saya melihat "sasaran" Anies persis yang disimbolkan JK, yaitu pejabat pucuk pemerintahan, dalam hal ini Presiden Joko Widodo. Ya, Anies merasa di bawah kepemimpinan Jokowi, Indonesia semakin tidak demokratis. Mengapa?
Pertama, semua bermula gara-gara kedatangan pentolan Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab, di Indonesia. Pada 10 November lalu, Rizieq tiba dan disambut ribuan pendukungnya di bandara.
Para pendukung Rizieq berkerumun di jalan tol dan menyesakkan bandara. Akibatnya calon penumpang terhambat dan terlantar, jadwal penerbangan diubah maskapai, dan sekian fasilitas publik di bandara rusak.
Kedua, Rizieq dan kelompoknya mengadakan sederet kegiatan berkerumun yang melibatkan ribuan orang di berbagai tempat, antara lain (selain di bandara) di Petamburan (penyambutan Rizieq, maulid Nabi Muhammad SAW, dan resepsi pernikahan putri Rizieq), di Bogor (ceramah), dan di Tebet (Maulid Nabi Muhammad SAW).
Ketiga, akibat dari tindakan Rizieq dan kelompoknya, sekian orang dipanggil penyidik Mapolda Metro Jaya, yang salah satunya adalah Anies sendiri. Anies diperiksa polisi selama kurang-lebih 9 jam lewat 33 pertanyaan, di mana rangkuman hasil pemeriksaan sebanyak 33 halaman.
Keempat, Pangdam Jaya Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurachman memerintahkan personel TNI mencopot seluruh baliho, spanduk, dan sejenisnya yang memajang gambar Rizieq di berbagai tempat.
Pertanyaannya, cukupkah bagi Anies menyebut terjadi kematian demokrasi dan krisis kepemimpinan (nasional) hanya karena kerumunan Rizieq dipersoalkan, dirinya diperiksa polisi, dan dibersihkannya pajangan gambar Rizieq?
Ada apa dengan Anies? Tahukah ia bahwa dunia tengah dilanda pandemi Covid-19 sehingga seluruh aturan protokol kesehatan wajib dipatuhi oleh siapa pun, termasuk masyarakat Indonesia dan terutama di DKI Jakarta?
Bukankah Anies bertindak sebagai penanggungjawab utama penegakkan protokol kesehatan di ibu kota? Sadarkah ia bahwa aturan berlaku bagi setiap orang, tidak terkecuali dirinya, Rizieq dan kelompoknya? Mengapa seolah mau menggunakan "standar ganda"?
Sebagai bentuk sikap proteskah makanya Anies menguggah foto buku favoritnya (semoga demikian)? Salahkah pemerintah geram menyaksikan ulah Rizieq dan memeriksa Anies untuk dimintai pertanggungjawaban selaku kepala daerah?
Letak kematian demokrasi dan krisis kepemimpinan ada di mana? Mengapa penegakkan aturan oleh aparat dimaknai Anies sebagai pembunuhan demokrasi di Indonesia? Otoriterkah pemerintah karena menertibkan warganya di masa pandemi ini?
Sikap Anies sungguh aneh dan membingungkan. Maka tidak heran ketika sebagian netizen (bahkan saya sendiri) menyindir balik Anies atas unggahannya di media sosial.
Tak sedikit netizen yang menanggapi Anies dengan kata dan kalimat: "radicalism killed democracy", "tanpa demokrasi, mustahil Anda jadi gubernur DKI Jakarta", "Anda jadi gubernur bukan hasil demokrasi, tetapi demonstrasi", "Anda ditaklukkan ormas FPI", dan sebagainya.
Entah punya keluhan khusus apa terhadap pemerintah (pusat) dan aparat, dan sedang merencanakan misi besar seperti apa di masa mendatang, sebaiknya Anies arif dan bijaksana di muka publik. Jangan kelihatan kekanak-kanakan.
Biarkan pemerintah pusat mengambil perannya, yang pastinya publik akan tetap mengawal supaya tidak bablas. Lalu Anies mestinya gagah menjadi pemimpin, menolak dikangkangi ormas, membebaskan diri dari belenggu "balas jasa", dan konsisten menegakkan aturan.
Penyelesaian masalah Rizieq dan kelompoknya, biarlah menjadi kewenangan pihak berwajib. Anies tidak boleh merasa galau gara-gara itu dan akhirnya berfantasi liar bahwa demokrasi mati dan terjadi krisis kepemimpinan.
Tidak bersyukurkah Anies, wajah ibu kota menjadi cerah kembali karena pajangan liar dan ilegal sudah dibersihkan Satpol PP yang turut dibantu oleh aparat TNI dan kepolisian?
Mengakhiri tulisan ini, pertanyaan saya lewat judul artikel "What's going on, Pak Anies?" sebenarnya yang berhak menjawab secara jelas dan tegas yakni Anies sendiri.
Semoga Anies tetap bijak bersikap, tegas memimpin, serta fokus melanjutkan karyanya dalam mewujudkan kemajuan kota DKI Jakarta dan mensejahterakan warga. Dan yang lebih penting lagi, berusaha semaksimal mungkin agar warga terhindar dari paparan Covid-19. Sekian.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H