Atau jangan-jangan seperti yang disampaikan oleh Ainul Yaqin (Sekretaris Umum MUI Jawa Timur) ini, bahwa aturan baru dibuat untuk kepentingan oligarki, jelasnya perusahaan besar?
"Kalau RUU itu tujuannya melindungi konsumen, atau melindungi masyarakat dari dampak miras, itu yang benar. Tapi kalau tujuannya meng-ilegalkan rumah produksi miras yang kecil, ya sama aja kayak sebelumnya. Sekarang ending-nya, yang ilegal dilarang di masyarakat. Akhirnya yang untung tetap perusahaan miras besar, karena tidak bersaing dengan yang ilegal. Yang ilegal biasanya perusahaan kecil," ujar Ainul, Jumat (13/11) - detik.com.
Sekali lagi - sekaligus meluruskan juga - saya dan mungkin sebagian besar warga Dayak menolak RUU Larangan Minol. Di aturan itu terdapat unsur diskriminasi. DPR RI tidak peka terhadap kebiasaan khas masyarakat.
Jangan sampai terealisasi apa yang dikatakan Ainul, bahwa tujuan adanya larangan Minol (menyasar produk lokal) sebenarnya untuk mematikan pesaing perusahaan besar (yang sudah pasti dilabel "legal").
Mengapa wisatawan disebut pemilik "kepentingan terbatas" sedangkan petani Dayak atau suku lain tidak termasuk? Semakin jelaskah yang disampaikan Ainul, bahwa memang para wisatawan lebih suka "minuman legal" ketimbang tuak (ilegal), meski keduanya sama-sama tergolong Minol?
Mudah-mudahan DPR RI dan pemerintah bijak dan mau mendengar masukan dari masyarakat. Adil ka' talino, bacuramin ka' saruga, basengat ka' jubata! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H