Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

RUU Larangan Minol: Tanpa Tuak, Kami Enggak Bisa "Nugal"

13 November 2020   22:42 Diperbarui: 14 November 2020   03:41 1314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Istrahat sambil makan siang usai

Kedua: Bagaimana jika pembuat Minol adalah perusahaan, apakah yang dijerat cukup pemilik, atau bisa semua orang yang terlibat di dalamnya? Bagaimana 'nasib' perusahaannya, apakah ditutup?

Ketiga: Sudahkah RUU Larangan Minol dibuat berdasarkan kajian mendalam dengan mempertimbangkan aspek untung-rugi di masyarakat? Bilamana lebih merugikan, maka sebaiknya tidak diteruskan pembahasannya.

Keempat: Apakah benar cuma kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, dan farmasi yang disebut "terbatas" itu? Bagaimana dengan kebiasaan warga lokal, semisal di NTT, Kalimantan, dan sebagainya? Maksudnya, mengapa digeneralisir padahal di wilayah tertentu ada yang namanya "tradisi"?

Adat berbeda dengan tradisi. Kepentingan adat misalnya untuk acara pertunangan, pernikahan, kematian, peletakan batu pertama pembangunan rumah, pembaptisan, dan lain-lain. Sedangkan kebutuhan tradisi jauh lebih banyak, dan mungkin sulit dihentikan.

Contoh saja, RUU Larangan Minol sudah diprotes oleh Pemprov NTT, sebab dinilai akan menghapus budaya yang sudah berlangsung di sana. "Sehingga kalau mereka mau membuat RUU itu berarti mereka mau menghapus budaya NTT," ungkap Marius Ardu Jelamu, Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT, Jumat (13/11) - KOMPAS.com.

Menambahkan protes Pemprov NTT, saya mendahului suara warga Suku Dayak, khususnya di Kalimantan Barat, bahwa saya menolak keberadaan RUU Larangan Minol. DPR RI sepertinya tidak paham tradisi unik yang ada di Indonesia.

Petani Dayak Jangkang sedang
Petani Dayak Jangkang sedang
Kami di Kalimantan Barat, meminum tuak tidak hanya saat acara pertunangan, pernikahan, kematian, dan seterusnya, tetapi sudah menjadi kebiasaan kami sehari-hari. Kami minum tuak dan arak bukan untuk mabuk-mabukan.

Selain di acara adat, kami butuh tuak untuk disuguhkan kepada tamu, diperlukan di kegiatan gawai (saat membuka lahan dan musim panen) dan nugal (musim tanam, di ladang atau sawah).

Sama seperti di daerah lain yang menyediakan suguhan khas sebagai bentuk penghormatan bagi tamu yang datang ke rumah (entah sirih), kami di Jangkang wajib punya tuak untuk disajikan, terlepas tamunya suka atau tidak. Tamu bukan hanya orang asing, tetapi juga tetangga dan kerabat dekat.

Lalu, berprofesi mayoritas petani, ditambah sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, kami kalau ke ladang (nugal) atau sawah mesti membawa sekian liter tuak atau arak. Buat apa? Ya, buat menambah energi dan menghangatkan badan kami di saat hujan. Biar kuat mencangkul dan tahan membungkukkan badan menanam padi.

Tradisi lama kami inikah yang bakal dipaksa terhapus gara-gara kehadiran RUU Larangan Minol? Mengapa aturan yang dibuat bukan untuk mengendalikan (mengontrol) penggunaan Minol tanpa mengabaikan tradisi dan kearifan lokal?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun