Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Sama dengan UU KPK, UU Cipta Kerja Kena "Typo"

7 Oktober 2020   21:36 Diperbarui: 8 Oktober 2020   11:05 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aksi mogok dan demonstrasi para buruh terkait penolakan terhadap pengesahan UU Cipta Kerja akan selesai pada Kamis, 8 Oktober 2020. Semoga betul berakhir sesuai "agenda".

Perlu diketahui, setidaknya ada 8 (delapan) poin keberatan para buruh atas UU yang disahkan pada Senin, 5 Oktober 2020 tersebut. Hal itu disampaikan oleh Jumisih, Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP).

"Setelah membaca undang-undang nir-partisipasi tersebut, kami menemukan setidaknya delapan bentuk serangan terhadap hak-hak buruh yang dilegitimasi secara hukum," ujar Jumisih, Selasa (6/10/2020).

Antara lain, kekhawatiran akan masifnya kerja kontrak, ancaman outsourcing pada semua jenis pekerjaan, jam lembur yang eksploitatif, hak istirahat dan cuti yang terhapus, hilangnya kewenangan gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/ kota (UMK), minimnya peran negara mengawasi praktik PHK sepihak, hak pesangon yang berkurang, dan mudahnya perusahaan melakukan PHK sepihak.

Itulah sederet poin keluhan para buruh menurut Jumisih. Selengkapnya sila baca di artikel KOMPAS.com ini (klik).

Akankah semuanya bakal sampai ke telinga pemerintah sehingga ada kemungkinan dipikirkan dan dipertimbangkan lagi?

Untuk sementara waktu, hal itu agak sulit terjadi, sebab usia UU baru beberapa hari. Artinya, semua keluhan para buruh bisa disampaikan jika ada ruang peninjauan kembali UU (Judicial Review).

Ruang JR tetap ada, tersisa sekian hari ke depan, terhitung selama 30 hari sejak UU disahkan. Semoga para buruh mau memanfaatkan waktu untuk menginventarisir kembali poin-poin keberatan mereka ke meja majelis Mahkamah Konstitusi (MK).

Mungkinkah kalangan buruh mengajukan JR? Tampaknya, iya. Entah bersuara atas nama seluruh buruh penolak UU atau kelompoknya saja, Jumisih menegaskan bahwa, JR salah satu opsi yang akan dilakukan.

"Tidak menutup kemungkinan bakal melakukan Judicial Review. Judicial Review menjadi penekanan kami saat ini," sambung Jumisih.

Pernyataan Jumisih di atas kiranya senada dengan harapan penulis, JR memang langkah yang lebih realistis. Mogok dan berdemonstrasi tidak akan menghasilkan apa-apa.

Semoga pula organisasi buruh lainnya sepakat dengan Jumisih, mengajukan JR ke MK. Jadi, ketimbang aksi dan arah perjuangan terpecah, mending para buruh kompak bersama.

Penulis sedikit menambahkan, sesungguhnya hal lain yang patut dipersoalkan para buruh kepada majelis hakim MK (bila jadi mengajukan JR) adalah masalah "typo", kesalahan penulisan pada poin-poin UU.

"Typo" UU kelihatan sepele, tetapi jika akhirnya terlaksana, akan sangat membingungkan dan berbahaya. Memang, akhirnya layaklah UU Cipta Kerja ini disebut hasil kerja terburu-buru, meskipun diakui diproses dalam waktu yang panjang dan sudah melalui tahap pengecekan.

Amat mungkin di bagian lain tentu ada "typo", penulis tidak mampu membaca seluruh isi pasal dan ayat UU Cipta Kerja satu per satu. Ketebalan UU mencapai ribuan lembar.

Karena "kepo", penulis meluangkan waktu membaca poin-poin "menarik" saja. Hasilnya, penulis mendapatkan "typo" di salah satu bagian, yaitu pada Pasal 70 Ayat 2, halaman 39 (lembaran UU), mengenai besaran denda administrasi ketidaksesuaian pemanfaatan ruang sehingga berubah fungsi.

Berikut bunyi Pasal 70 Ayat 2: "Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)".

Tangkapan layar lembaran UU Cipta Kerja | Sumber dokumen: KOMPAS.com
Tangkapan layar lembaran UU Cipta Kerja | Sumber dokumen: KOMPAS.com
Mana tulisan yang benar, angka atau penyebutan kalimat? Inilah yang penulis maksud sebagai "typo". Angka denda diterangkan dengan kalimat yang salah.

Kejadian "typo" pada UU Cipta Kerja ini seakan mau mengingatkan publik soal UU KPK hasil revisi (UU Nomor 19 Tahun 2019) lalu.

Hal serupa kembali terjadi, di mana di UU KPK kala itu ada "typo" pada Pasal 29 butir E, yakni tentang batasan usia komisioner (pimpinan) KPK.

Di angka tertera maksimal "50 tahun" sedangkan keterangannya tertulis "empat puluh tahun". Lebih lanjut, sila baca KOMPASIANA.com ini (klik).

Nah, "penyakitnya" sama, bukan? "Typo", kekeliruan dalam penulisan, sesuatu yang tidak boleh dianggap sepele, karena bisa "menempeleng".

Kira-kira demikian sumbang saran penulis kepada para buruh, apabila mereka betul ingin mengajukan JR ke MK. Semoga mereka berhasil memperjuangkan segala aspirasi yang masih terus disuarakan.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun