Semoga pula organisasi buruh lainnya sepakat dengan Jumisih, mengajukan JR ke MK. Jadi, ketimbang aksi dan arah perjuangan terpecah, mending para buruh kompak bersama.
Penulis sedikit menambahkan, sesungguhnya hal lain yang patut dipersoalkan para buruh kepada majelis hakim MK (bila jadi mengajukan JR) adalah masalah "typo", kesalahan penulisan pada poin-poin UU.
"Typo" UU kelihatan sepele, tetapi jika akhirnya terlaksana, akan sangat membingungkan dan berbahaya. Memang, akhirnya layaklah UU Cipta Kerja ini disebut hasil kerja terburu-buru, meskipun diakui diproses dalam waktu yang panjang dan sudah melalui tahap pengecekan.
Amat mungkin di bagian lain tentu ada "typo", penulis tidak mampu membaca seluruh isi pasal dan ayat UU Cipta Kerja satu per satu. Ketebalan UU mencapai ribuan lembar.
Karena "kepo", penulis meluangkan waktu membaca poin-poin "menarik" saja. Hasilnya, penulis mendapatkan "typo" di salah satu bagian, yaitu pada Pasal 70 Ayat 2, halaman 39 (lembaran UU), mengenai besaran denda administrasi ketidaksesuaian pemanfaatan ruang sehingga berubah fungsi.
Berikut bunyi Pasal 70 Ayat 2: "Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)".
Kejadian "typo" pada UU Cipta Kerja ini seakan mau mengingatkan publik soal UU KPK hasil revisi (UU Nomor 19 Tahun 2019) lalu.
Hal serupa kembali terjadi, di mana di UU KPK kala itu ada "typo" pada Pasal 29 butir E, yakni tentang batasan usia komisioner (pimpinan) KPK.
Di angka tertera maksimal "50 tahun" sedangkan keterangannya tertulis "empat puluh tahun". Lebih lanjut, sila baca KOMPASIANA.com ini (klik).
Nah, "penyakitnya" sama, bukan? "Typo", kekeliruan dalam penulisan, sesuatu yang tidak boleh dianggap sepele, karena bisa "menempeleng".