Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Tiga "Hantu" Pilkada 2020: Covid-19, Ancaman Golput, dan Delegitimasi Hasil

26 September 2020   13:03 Diperbarui: 28 September 2020   03:32 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas kesehatan mengangkat pemilih yang pingsan saat simulasi Pemilihan Kepala Daerah di Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (14/9/2020). Simulasi tersebut digelar untuk menyiapkan segala hal yang diperlukan untuk penyelenggaraan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 di tengah wabah COVID-19 | Sumber gambar: ANTARA FOTO/Budi Candra Setya via kompas.com

Bukankah Pilkada 2020 menjadi gagal karena misi untuk meraih partisipasi pemilih tidak tercapai? Siapa kemudian yang tetap nekat memilih? Ya, sebagian warga saja. Mereka yang mengaku kebal virus, tidak takut mati, dan tidak sabar merayakan kemenangan pasangan calon idolanya.

Jika kemudian yang terjadi adalah terlaksananya Pilkada 2020 dengan angka golput tinggi, itukah yang disebut legitimasi kepemimpinan? Alih-alih berharap legitimasi, faktanya malah sebaliknya: delegitimasi. Partisipasi rendah warga jelas mendelegitimasi hasil Pilkada 2020. Ruang "permainan" terbuka lebar dan suara yang dihasilkan tidak sesuai harapan.

Pemimpin macam apa yang terpilih "berkat" Covid-19? Apa yang bisa diharapkan warga dari mereka? Mana yang lebih baik, memilih Plt yang diberi "kewenangan istimewa" untuk sementara waktu di masa pandemi, atau memaksakan hadirnya pemimpin baru hasil "pemanfaatan keganasan wabah"?

Yakinkah bahwa pemimpin baru akan lebih hebat menangani pandemi Covid-19 ketimbang Plt? Mestikah tugas pertama pemimpin baru yakni menangani kesehatan warga terjangkit Covid-19 di masa pelaksanaan Pilkada 2020? 

Semoga saja pemimpin baru itu pada akhirnya tidak malah sibuk mengurus kesehatannya sendiri karena positif terpapar Covid-19 seusai terpilih.

Menunda Pilkada 2020 patut dipertimbangkan kembali. Pelaksanaannya bisa dilangsungkan saat angka sebaran wabah mulai menurun. Bukan dalam waktu dekat, awal Desember. Usulan beberapa pihak bisa diterima, misalnya yang disampaikan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, di mana meminta Pilkada 2020 diagendakan pada Juni 2021.

Toh, kalau memang sebagian besar daerah harus punya Plt terhitung Februari 2020 (karena masa jabatan pemimpinnya habis di bulan itu), menunggu Juni tidaklah terlalu lama, hanya sekitar 4 (empat) bulan saja. Biarlah energi dan sumber daya negeri ini difokuskan terlebih dahulu untuk menangani wabah agar dampak buruknya terminimalisir.

Maukah pemerintah, DPR RI, dan KPU menunda pelaksanaan Pilkada 2020 supaya bangsa ini terbebas dari ancaman "hantu mengerikan" (Covid-19, ancaman golput, dan delegitimasi hasil) karena memang nyata susah dihadapi? Semoga.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun