Ketiga, KPU mengaku bahwa pelaksanaan Pilkada 2020 sudah didesain sedemikian rupa sehingga tidak melanggar protokol kesehatan. Maksudnya protokol kesehatan yang selama ini berjalan akan tetap dikedepankan sehingga segala hal yang dikhawatirkan teratasi dan tertangani.
Keempat, pemerintah, DPR RI, dan KPU mengaku bahwa dengan terpilihnya pemimpin baru akan memperkuat kebijakan di daerah. Menunda Pilkada 2020 sama dengan "melowongkan" posisi jabatan pemimpin di daerah. Kepemimpinan dan legitimasi tidak hanya dibutuhkan di masa pandemi Covid-19, melainkan juga setelahnya.
Tegasnya, pemerintah, DPR RI, dan KPU tidak ingin selama beberapa waktu ke depan jabatan gubernur, walikota, dan bupati diemban oleh pelaksana tugas (Plt). Mengangkat Plt sebanyak 270 orang terlalu sulit dilakukan, karena selain kewenangan mereka terbatas, harus melalui proses seleksi yang memakan waktu.
"Mengangkat Plt sebanyak 270 orang terlalu sulit dilakukan, karena selain kewenangan mereka terbatas, harus melalui proses seleksi yang memakan waktu."
Itulah kira-kira sekian alasan, mengapa Pilkada 2020 susah ditunda pelaksanannya. Namun demikian, meski semuanya masuk akal, tampaknya pemerintah, DPR RI, dan KPU amat menyepelekan keberadaan 3 (tiga) "hantu mengerikan", yang jelas-jelas sulit untuk dilawan, yaitu keganasan Covid-19, hadirnya golongan putih (golput), dan delegitimasi hasil Pilkada 2020.
Maksudnya, bagaimana mungkin kerugian sisi ekonomi atas penundaan Pilkada 2020 detail dipertimbangkan, padahal bila pelaksanaannya tetap dipaksakan, kerugian susulan sesungguhnya jauh lebih besar?
Misalnya, anggap akibat penundaan Pilkada 2020 mengakibatkan kerugian negara hingga miliaran atau triliunan rupiah. Lalu, tidakkah dihitung juga kerugian serupa kalau akhirnya penyebaran Covid-19 meningkat dan menghilangkan banyak nyawa? Bukankah akhirnya uang negara bakal keluar juga (yang jumlahnya tidak sedikit) untuk mengobati pasien terpapar dan menyantuni keluarga korban meninggal?
Mengapa tidak belajar dari peristiwa masa lampau (Pilpres 2019 dan Pilkada sebelumnya) yang sudah memberikan pelajaran berharga, bahwa tanpa Covid-19 pun, korban kelelahan dan meninggal dunia konsisten berjatuhan? Bukankah nyawa manusia jauh lebih berharga ketimbang terpilihnya pemimpin baru di daerah?
"Mengapa tidak belajar dari peristiwa masa lampau (Pilpres 2019 dan Pilkada sebelumnya) yang sudah memberikan pelajaran berharga, bahwa tanpa Covid-19 pun, korban kelelahan dan meninggal dunia konsisten berjatuhan?"
Bagaimana pemerintah, DPR RI, dan KPU begitu optimis kalau pelaksanaan Pilkada 2020 tidak sebahaya yang dipikirkan? Harus diingat, Pilkada 2020 belum dilangsungkan tetapi sudah memakan korban. Sebagian menteri, kepala daerah, pasangan calon, dan penyelenggara pesta demokrasi sudah terpapar Covid-19. Belum lama, Ketua KPU Arief Budiman sendiri telah divonis positif Covid-19.
Pejabat negara dan penyelenggara Pilkada 2020 saja ternyata tidak kebal Covid-19, bagaimana dengan warga pemilih yang kesadarannya akan protokol kesehatan masih kurang, bukankah kemudian pasti akan bernasib sama? Haruskah momen Pilkada 2020 dimanfaatkan untuk menambah jumlah kasus positif Covid-19?
Jangan sampai warga pemilih yang awalnya belum terkena Covid-19, namun gara-gara harus hadir di TPS untuk memilih pemimpin idolanya (jika betul ada pasangan calon yang diidolakan) akhirnya bernasib sial karena membawa "oleh-oleh" virus yang didapatkan gratis dari warga lainnya.
Berikutnya, tidakkah dipertimbangkan, dengan mengerikannya  penyebaran Covid-19, akhirnya mayoritas warga pemilih memutuskan untuk tidak datang ke TPS?Â