Tiga jenis "hantu" ini tidak cukup diusir menggunakan "kemenyan" dan tidak ampuh ditangani oleh para "dukun hebat". Hantu tersebut terlalu kuat untuk ditaklukkan. Maka, satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah "melarikan diri" atau "bersembunyi".
Rencana pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember masih menuai pro dan kontra. Sebagian kalangan setuju dan sebagian lainnya menolak.Â
Hingga saat ini pemerintah pusat, DPR RI, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) berada di pihak setuju. Ketiganya kukuh untuk tetap melaksanakan Pilkada 2020 sesuai jadwal.
Sementara pihak-pihak yang tidak setuju berasal dari organisasi keagamaan, organisasi massa, oleh pemerhati dan praktisi kesehatan, dan sebagainya. Alasannya, penyebaran Covid-19 kian hari makin naik dan belum mampu dikendalikan dengan baik. Maka dari itu, mereka mengusulkan agar Pilkada 2020 ditunda pelaksanaannya.
Seperti yang diketahui publik, perhelatan Pilkada 2020 akan diikuti sebanyak 270 daerah di seluruh Indonesia, yang terdiri dari 9 provinsi (pemilihan gubernur dan wakil gubernur), 37 kotamadya (pemilihan walikota dan wakil walikota), dan 224 kabupaten (pemilihan bupati dan wakil bupati).
Mengapa pemerintah, DPR, dan KPU tampak sulit "dirayu" supaya menunda Pilkada 2020 meskipun ancaman kesehatan masyarakat di tengah pandemi sudah di pelupuk mata? Menurut penulis, setidaknya ada 4 (empat) alasan mereka yang cukup masuk akal, yakni:
Pertama, dana Pilkada 2020 sudah dicairkan dan proses persiapan sedang berjalan (menuju titik rampung). Uang yang sudah disetor kepada penyelenggara (di pusat dan daerah) tidak mungkin ditarik kembali, karena sebagian telah dibelanjakan, sedangkan sisanya terlalu sedikit untuk dikembalikan. Belum lagi jika Pilkada 2020 ditunda, maka kelak bisa memunculkan anggaran tambahan.
Kedua, momen Pilkada 2020 bisa dimanfaatkan sebagai sarana untuk menggerakkan roda perekonomian nasional dan daerah. Pilkada 2020 dirasa sebagai "kesempatan langka" untuk menggeliatkan ekonomi masyarakat, di mana pada masa ini, jenis usaha tertentu menjadi hidup.
Contohnya, usaha percetakan (surat suara, sablon, poster, spanduk, baju kaos, bendera, dan sebagainya), fotokopi (penggandaan berkas atau dokumen), usaha bidang jasa (transportasi, ekspedisi, dan lain-lain), usaha katering (makanan dan minuman), dan seterusnya.
Lalu, karena metode kampanye "dipaksakan" secara daring, maka strategi sosialisasi dan langkah pemenangan menggunakan media sosial (jasa influencer dan buzzer) bisa berantakan bila pelaksanaan Pilkada 2020 ditunda.
Para pasangan calon pasti sudah memiliki tim media sosial yang tengah bekerja dan telah dibayar. Kalau Pilkada 2020 diputuskan ditunda, maka dana yang sudah digelontorkan tidak efektif dan efisien, kesempatan menghidupkan roda ekonomi menjadi hilang, dan kampanye virtual terpaksa dirombak ulang.