Kemungkinan berikutnya yaitu bukanlah Soekarno proklamatornya. Termasuk bukan presiden pertama. Melainkan salah seorang dari golongan muda tadi yang "memaksakan" kehendak mau merdeka sesegera mungkin. Bisa saja Sukarni atau yang lainnya.
Kedua, seandainya golongan tua yang menang serta bersedia menerima "arahan" dari Jepang, maka tanggal peringatan kemerdekaan Indonesia belum tentu 17 Agustus.
Sebab penentuan tanggal berdasarkan kesepakatan golongan tua (yang sudah pasti wajib juga direstui oleh Jepang). Dengan begitu, artinya usia kemerdekaan Indonesia saat ini belum tentu pula menjadi 75 tahun. Bisa lebih mudah lagi.
Ketiga, kalau akhirnya tanggal kemerdekaan bukan "17 Agustus 1945", maka simbol-simbol unik yang terdapat di "Burung Garuda" (bulu di bagian leher, ekor, dan seterusnya) jelas tidak seperti yang ada sekarang.
Keempat, batal merdeka pada 17 Agustus 1945, lagu-lagu wajib nasional yang selama ini dinyanyikan tidak mungkin ada. Atau ada tetapi disesuaikan. Misalnya, lagu "Hari Merdeka" karangan Husein Mutahar, dan sebagainya.
Kelima, bila tanggal kemerdekaan merupakan kesepakatan PPKI (golongan tua) dan dicampuri oleh Jepang, kiranya kemerdekaan bakal dikenang sebagai hadiah atau pemberian, bukan hasil usaha keras bangsa Indonesia.
Demikian kemungkinan yang akan terjadi dengan "catatan" HUT Kemerdekaan Indonesia seandainya tidak terjadi Peristiwa Rengasdengklok. Maka patutlah bangsa Indonesia berbesar hati menerima kejadian buruk tersebut.
Di samping itu, "pembangkangan" golongan muda dan kebesaran hati golongan tua juga mesti diapresiasi. Yang satu mengusulkan, sementara yang lain mendengarkan dan mencari solusi terbaik.
Konflik di antara kedua golongan yang berbuah manis pantas disyukuri oleh seluruh anak bangsa. Terkadang memang sesuatu yang baik itu terpaksa diawali dengan konflik terlebih dahulu.
Selamat memperingati HUT ke-75 Republik Indonesia, 17 Agustus 2020. Semoga NKRI tetap jaya dan semakin maju. Merdeka!!!
***