Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Djoko Tjandra, Cessie Bank Bali, dan Ketidakpastian Hukum Kita

16 Juli 2020   15:29 Diperbarui: 16 Juli 2020   21:58 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terdakwa kasus cessie Bank Bali, Djoko Tjandra | Gambar: KOMPAS.com/Danu Kusworo

Terlebih dahulu saya mau menyampaikan bahwa, saya pribadi tidak mengenal Djoko Tjandra, seorang buron Kejaksaan Agung sejak 16 Juni 2009 atas kasus BLBI terkait hak tagih (cessie) Bank Bali pada 1998 senilai lebih dari Rp500 miliar.

Lebih lanjut, saya turut menegaskan pula, saya tidak dalam posisi membenarkan segala tindakan yang dilakukan Djoko Tjandra, di mana menurut keputusan hukum adalah salah. Jika hukum menyatakan salah, maka tetaplah salah.

Namun apabila memang terdapat tindakan Djoko Tjandra yang ternyata benar, maka saya pun berada di posisi mendukung. Siapa pun warga negara berhak mendapat perlakuan yang sama dan adil di hadapan hukum, tidak terkecuali Djoko Tjandra.

Saya tidak perlu mengulas mengapa Djoko Tjandra terseret kasus cessie Bank Bali, yang telah menghabiskan waktu selama 22 tahun (1998-2020). Ulasannya pasti panjang dan belum tentu lengkap. Sila baca di berbagai media tentang hal itu.

Setelah saya mencoba membaca dokumen tulisan di berbagai sumber terpercaya (deretan artikel terlampir di bagian bawah tulisan ini), saya sedikit berani mengatakan bahwa, sesungguhnya persoalan berkepanjangan dialami Djoko Tjandra akibat ketidakpastian hukum di negara Indonesia .

Jika ingin ditelusuri ke belakang, sebelum akhirnya Djoko Tjandra kembali tertangkap dan dikaitkan dengan penyalahgunaan "Surat Sakti" karena "red notice" terhadapnya telah dihapus, kasus cessie Bank Bali kelihatannya bisa selesai cepat dan tuntas.

Supaya tidak berbelit-belit, berikut ringkasan perjalanan kasus Djoko Tjandra:

Pertama, setelah kasus cessie Bank Bali diproses di kejaksaan dan dilimpahkan ke pengadilan, pada 6 Maret 2000, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa terhadap Djoko Tjandra tidak dapat diterima. 

Kasus Djoko Tjandra disebutkan bukanlah kasus pidana, melainkan kasus perdata dan administrasi. Maka Djoko Tjandra pun dibebaskan dari status tahanan kota. Lalu jaksa mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi.

Kedua, pada 28 Agustus 2000, majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta lagi-lagi menegaskan Djoko Tjandra terbebas dari segala tuntutan hukum. Dan jaksa yang kala itu Antasari Azhar mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Ketiga, pada 21 September 2000, kembali lagi Mahkamah Agung melepaskan Djoko Tjandra dari segala tuntutan. Artinya sebanyak tiga kali proses sidang di tingkat berbeda, Djoko Tjandra tetap dinyatakan bebas dari tuntutan atau dakwaan.

Mungkin tidak puas dengan keputusan Mahkamah Agung hasil kasasi, pihak Kejaksaan Agung kembali melakukan upaya terakhir, yaitu Peninjauan Kembali (PK). 

Keempat, pada 11 Juni 2009, Peninjauan Kembali dilayangkan Kejaksaan Agung ke Mahkamah Agung, dan majelis hakim ternyata menganulir keputusan sebelumnya. Djoko Tjandra dinyatakan bersalah, diberi hukuman 2 tahun, membayar denda sebesar Rp15 juta, dan uang miliknya di Bank Bali sejumlah Rp546.166.116.369 dirampas untuk negara.

Kelima, atas hasil Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung, pada 16 Juni 2009, pihak kejaksaan memanggil Djoko Tjandra untuk dieksekusi. Dan ternyata Djoko Tjandra mangkir dari panggilan (menghilang entah ke mana), dan akhirnya langsung ditetapkan sebagai buronan.

Keenam, pada 9 Maret 2016, istri Djoko Tjandra bernama Anna Boentaran mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ke Mahkamah Konstitusi, yakni Pasal 263 ayat 1, yang berbunyi: 

"Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahmamah Agung".

Anna merasa suami, diri dan keluarganya dirugikan akibat Peninjauan Kembali yang dilakukan Kejaksaan Agung ke Mahkamah Agung. Anna beralasan, seharusnya yang menjadi pihak pengaju PK adalah Djoko Tjandra (suaminya) atau dirinya dan keluarga. Bukan pihak lain, termasuk Kejaksaan Agung.

Ketujuh, pada 12 Juni 2016, majelis hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan menerima permohonan Anna dan mempertegas kembali bahwa yang berhak mengajukan PK hanya terpidana atau ahli warisnya (keluarga) serta beberapa lagi landasan pokok lain yang tidak boleh dilanggar.

Setidaknya ada 4 (empat) landasan pokok yang ditegaskan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang diketuai oleh Arief Hidayat kala itu:

  1. Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak),
  2. Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
  3. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya, dan
  4. Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan.

Maka dari landasan tadi, majelis hakim Mahkamah Konstitusi kemudian mengambil keputusan mengabulkan permohonan Pemohon (Anna) dan mengeluarkan perintah pemuatan putusan ke dalam Berita Negara Republik Indonesia. Isi lengkap putusan, sila klik ini (Putusan Mahkamah Konstitusi).

Artinya apa? Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, jelas dan tegas bahwa Djoko Tjandra bebas dari kasus. Perintah pemuatan putusan pun sudah dilakukan agar semua khalayak khususnya yang berkepentingan mengetahui, memahami, dan menjalankannya.

Bukankah berarti bahwa, baik Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Kepolisian dan lembaga hukum lainnya wajib patuh pada putusan Mahkamah Konstitusi tadi? Bukankah berarti pula hasil PK dan eksekusi terhadap Djoko Tjandra otomatis gugur? Lalu bagaimana dengan status buron berlabel red notice, apakah hilang juga?

Kedelapan, pada 5 Mei 2020 muncul surat pencabutan red notice terhadap Djoko Tjandra NO: B/186/V/2020/NCB.Div.HI oleh Sekretaris NCB Interpol Indonesia sebagai wujud pengabulan surat permohonan Anna (istri Djoko Tjandra) pada 16 April 2020. Berarti Djoko Tjandra bukan lagi buronan.

Kesembilan, pada 18 Juni 2020 terbit "Surat Sakti" yaitu Surat Jalan bernomor SJ/82/VI/2020/Rokorwas oleh Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri kepada Djoko Tjandra untuk kepentingan bepergian dari Jakarta ke Pontianak (19-22 Juni 2020).

Pertanyaannya, kemunculan kedua surat tadi merupakan hasil penyalahgunaan kewenangan, tindakan persekongkolan, atau memang sebagai wujud penerimaan atas putusan Mahkamah Konstitusi oleh kedua pejabat Polri?

Sila nilai sesuai pandangan masing-masing. Yang jelas, menurut saya, poin kedelapan dan kesembilan adalah upaya Djoko Tjandra serta keluarganya agar terhindar dari kekangan dan kejaran pihak berwajib. Apapun pasti dilakukan, tidak peduli menabrak prosedur atau tidak.

Mengenai kesalahan prosedur dan soal penyalahgunaan wewenang, mestinya hal itu menjadi tanggungjawab kedua pejabat Polri dan lembaganya. Bukan salah Djoko Tjandra dan istrinya.

Khusus soal "Surat Sakti", mestinya surat yang menjadi hak petugas (polisi) tidak diberikan sembarangan kepada Djoko Tjandra dan warga biasa. Sebab, usai terbongkar, surat jalan yang dimaksud ternyata hanya boleh digunakan personil kepolisian.

Lalu apa tindakan salah Djoko Tjandra? Menurut saya, seharusnya Djoko Tjandra tetap berlokasi di Indonesia sejak Kejaksaan Agung hendak mengeksekusi dirinya, sembari mengupayakan langkah lain (yaitu uji materi UU tadi ke Mahkamah Konstitusi). Bukan malah menghindar, kabur, dan memilih jadi warga negara lain selama sekian tahun. Di situlah poin kesalahan Djoko Tjandra.

Kesepuluh atau terakhir, saya mengusulkan agar penegak hukum (dalam hal ini Kejaksaan Agung) kembali menempatkan kasus Djoko Tjandra sebagaimana mestinya. Putusan Mahkamah Konstitusi sudah terbit dan sifatnya mengikat, bukankah penyelesaian kasus tersebut turut terbantu?

Bahwa akhirnya muncul kasus baru lagi terhadap Djoko Tjandra, misalnya karena menghindari proses hukum dengan cara lari ke luar negeri, bersekongkol dengan lurah untuk penerbitan KTP Elektronik, mengakibatkan pejabat Polri menyalahgunakan kewenangan menerbitkan surat, dan sebagainya, sila penegak hukum memprosesnya.

Hal yang pasti saat ini yakni, putusan Mahkamah Konstitusi sudah mempertegas bahwa proses kasus cessie Bank Bali terhadap Djoko Tjandra tidak sesuai prosedur dan perundang-undangan.

Sekali lagi, saya tidak memihak Djoko Tjandra secara penuh. Saya hanya tertarik dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan ingin agar proses hukum terhadap Djoko Tjandra dikembalikan lagi pada posisi tepat.

Salam!

***

Pustaka: [1] [2] [3] [4] [5] [Putusan Mahkamah Konstitusi]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun