Kesembilan, pada 18 Juni 2020 terbit "Surat Sakti" yaitu Surat Jalan bernomor SJ/82/VI/2020/Rokorwas oleh Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri kepada Djoko Tjandra untuk kepentingan bepergian dari Jakarta ke Pontianak (19-22 Juni 2020).
Pertanyaannya, kemunculan kedua surat tadi merupakan hasil penyalahgunaan kewenangan, tindakan persekongkolan, atau memang sebagai wujud penerimaan atas putusan Mahkamah Konstitusi oleh kedua pejabat Polri?
Sila nilai sesuai pandangan masing-masing. Yang jelas, menurut saya, poin kedelapan dan kesembilan adalah upaya Djoko Tjandra serta keluarganya agar terhindar dari kekangan dan kejaran pihak berwajib. Apapun pasti dilakukan, tidak peduli menabrak prosedur atau tidak.
Mengenai kesalahan prosedur dan soal penyalahgunaan wewenang, mestinya hal itu menjadi tanggungjawab kedua pejabat Polri dan lembaganya. Bukan salah Djoko Tjandra dan istrinya.
Khusus soal "Surat Sakti", mestinya surat yang menjadi hak petugas (polisi) tidak diberikan sembarangan kepada Djoko Tjandra dan warga biasa. Sebab, usai terbongkar, surat jalan yang dimaksud ternyata hanya boleh digunakan personil kepolisian.
Lalu apa tindakan salah Djoko Tjandra? Menurut saya, seharusnya Djoko Tjandra tetap berlokasi di Indonesia sejak Kejaksaan Agung hendak mengeksekusi dirinya, sembari mengupayakan langkah lain (yaitu uji materi UU tadi ke Mahkamah Konstitusi). Bukan malah menghindar, kabur, dan memilih jadi warga negara lain selama sekian tahun. Di situlah poin kesalahan Djoko Tjandra.
Kesepuluh atau terakhir, saya mengusulkan agar penegak hukum (dalam hal ini Kejaksaan Agung) kembali menempatkan kasus Djoko Tjandra sebagaimana mestinya. Putusan Mahkamah Konstitusi sudah terbit dan sifatnya mengikat, bukankah penyelesaian kasus tersebut turut terbantu?
Bahwa akhirnya muncul kasus baru lagi terhadap Djoko Tjandra, misalnya karena menghindari proses hukum dengan cara lari ke luar negeri, bersekongkol dengan lurah untuk penerbitan KTP Elektronik, mengakibatkan pejabat Polri menyalahgunakan kewenangan menerbitkan surat, dan sebagainya, sila penegak hukum memprosesnya.
Hal yang pasti saat ini yakni, putusan Mahkamah Konstitusi sudah mempertegas bahwa proses kasus cessie Bank Bali terhadap Djoko Tjandra tidak sesuai prosedur dan perundang-undangan.
Sekali lagi, saya tidak memihak Djoko Tjandra secara penuh. Saya hanya tertarik dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan ingin agar proses hukum terhadap Djoko Tjandra dikembalikan lagi pada posisi tepat.
Salam!
***