Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Jangan Fokus pada Mata Novel yang Cacat!

21 Juni 2020   13:28 Diperbarui: 21 Juni 2020   13:25 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan | Gambar: tribunnews.com/Irwan Rismawan

Setelah membaca kabar tentang tuntutan vonis 1 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) kepada 2 terdakwa pelaku penyerangan (Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis) penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, saya turut menjadi salah seorang yang tidak puas menerimanya.

Saya tidak punya hubungan apa pun dengan Novel. Sebagai warga biasa yang masih mampu menggunakan logika, saya menilai penderitaan yang telah menimpanya (cacat mata kiri akibat siraman air keras) sejak 3 tahun silam (11 April 2017) kurang setimpal bila dibandingkan dengan sanksi yang diterima para pelaku. Saya yakin sebagian pihak tentu memiliki penilaian yang sama.

Bagaimana mungkin ganjaran hukuman bagi pelaku hanya 1 tahun, sementara Novel akan terus menjalani sisa masa hidupnya dalam kondisi cacat fisik? Baiklah misalnya Novel telah memaafkan para pelaku, namun mestinya negara (dalam hal ini penegak hukum) tidak ikut-ikutan "mengamini" hal demikian, bukan?

Mengapa saya agak keberatan dengan tuntutan vonis JPU? Sebab, di samping simpati melihat nasib Novel, saya berpendapat, sesungguhnya masih ada beberapa hal lain yang wajib dipertimbangkan oleh JPU untuk menjerat para pelaku lebih berat.

Pertimbangan karena pelaku mengaku tidak sengaja (menyerang mata), jujur mengakui kesalahan, dan menyesali perbuatan (jika memang benar adanya) tidak semestinya membuat JPU menunjukkan iba dan akhirnya 'mengobral' hukuman ringan.

Saya berharap kedua terdakwa betul pelaku penyerangan, karena mereka sendiri mengaku terbuka di depan pengadilan. Meskipun sampai sekarang Novel dan beberapa pihak lainnya (termasuk saya) masih menyimpan keraguan.

Sekali lagi, anggaplah kedua terdakwa adalah pelaku yang sesungguhnya. Maka di sini terdapat hal-hal lain yang harus dipertimbangkan JPU, seperti yang saya singgung di atas, antara lain:

Pertama, terdakwa penyerang Novel merupakan anggota aktif kepolisian, dari kesatuan Brimob. Bagaimana mungkin personil penegak hukum dan pengayom berani mencelakai masyarakat?

Di sini jangan lihat Novel selaku penyidik KPK, melainkan warga negara yang punya hak memperoleh jaminan keamanan dan keselamatan.

Bukankah seharusnya kedua pelaku layak dan pantas diberi sanksi yang cukup berat? Bagaimana kalau pelakunya warga biasa, apakah sanksi ringan bakal diperoleh juga?

Alih-alih dijatuhi hukuman berat, kedua pelaku justru masih selamat dari sanksi disiplin kesatuan, yang sejak tertangkap dan mengaku terbuka tetap dikawal untuk dibela hak-haknya secara berlebihan. Mereka tidak dipecat. Seandainya telah berstatus "mantan polisi", barangkali kenyataan yang mereka hadapi sekarang bisa berbeda.

Kedua, bukankah 'ulah' kedua pelaku telah membuat pusing satu negara, mulai dari rakyat yang awam soal hukum hingga presiden? Mari ingat kembali, sudah berapa kali terjadi pembentukan tim ini dan itu hanya untuk mengurus kasus Novel. Sudahkah dihitung berapa banyak energi, waktu, dan materi yang terbuang sia-sia selama ini?

Ketiga, bagaimana mungkin JPU begitu percaya penuh bahwa motif penyerangan terhadap Novel hanya gara-gara dendam "Sarang Walet" semata? Siapakah kedua pelaku itu sampai diberi hak untuk "menghakimi" Novel? Apakah mereka punya sangkut-paut dengan kasus yang melibatkan Novel belasan tahun silam tersebut? Bukankah bila betul Novel bersalah, pihak berkapasitas pemberi penghakiman adalah hakim di pengadilan?

Saya cukupkan sampai di sini. Saya pribadi berharap Novel, keluarga, dan orang-orang yang simpati masih mendapat kepuasan batin di hari-hari ke depan. Khususnya tepat saat mendengar dan menyaksikan keputusan hakim di pengadilan.

Semoga kasus Novel tidak dipandang terlalu sederhana, cuma pada soal kecacatan fisik ringan, karena dianggap toh ia masih bisa melihat dan mengumbar senyuman.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun