Ketiga, munculnya wacana pembebasan narapidana korupsi dengan alasan untuk mencegah penyebarluasan wabah Covid-19. Padahal, kalau dipahami betul, justru Lapas yang paling aman. Karena protokol Lapas diakui ketat, tidak sembarang orang masuk untuk berinteraksi.
Bayangkan pula, di saat masyarakat dilarang mudik ke kampung halaman, di waktu yang bersamaan lahir kebijakan pemulangan puluhan ribu narapidana (termasuk koruptor) ke rumah mereka masing-masing. Aneh, bukan?
Baca: Menkumham Ingin Bebaskan Puluhan Ribu Napi karena Wabah Corona, Tepatkah?
Bagaimana mungkin virus korupsi bisa berhenti mewabah, kalau "inang" mereka yang belum steril (dibebaskan secara terpaksa tanpa alasan kuat) dilepasliarkan kembali ke tengah masyarakat?
Keempat, penggelontoran dana Rp405,1 triliun oleh pemerintah untuk penanganan wabah Covid-19. Pengalokasian dana sekian banyak tidak salah, asalkan dipastikan bermanfaat, tepat sasaran dan tidak diselewengkan (dikorupsi).
Jangankan uang triliunan rupiah, masker bantuan yang dikirim ke daerah-daerah saja dicuri dan diperjualbelikan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab untuk meraup keuntungan.
Karena poin keempat di atas yang paling ditunggu oleh virus korupsi, maka pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak boleh radikal menjalankan aksi social distancing atau larut menikmati kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
KPK wajib bergerak aktif untuk berkolaborasi dengan BNPB dan beberapa lembaga lain (tentu tanpa mengabaikan kesehatan dan keselamatan jiwa) untuk memastikan dana penanganan wabah tidak dikorupsi sepeser pun.
Firli Bahuri dan tim mesti tegas mengumandangkan bahwa pemberantasan korupsi tidak akan pernah surut meski langit runtuh, apalagi gara-gara wabah semata. Virus korupsi dan Covid-19 sama-sama mematikan.
Sekali lagi, wabah Covid-19 musuh besar, tetapi jangan lupa musuh lama yang lebih besar dan sedang mengintai, yakni virus korupsi. Pencegahan dan penanganan keduanya bukan sebatas hak, melainkan kewajiban bersama.
***